Menjadi menteri sering kali dipandang sebagai posisi yang prestisius dan penuh tanggung jawab. Namun, jika kita lihat lebih dekat hirarki birokrasi di pemerintahan, ada satu kesan yang tidak bisa diabaikan: semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sedikit beban teknis yang ditanggungnya. Ungkapan “jadi menteri itu mudah” menggambarkan bagaimana peran seorang menteri lebih banyak berkutat pada pengambilan keputusan strategis dan penjabaran kebijakan, sementara pelaksanaan teknis sebenarnya dibebankan kepada jenjang birokrasi di bawahnya.
Hirarki Birokrasi dan Pembagian Tugas
Di dalam sistem pemerintahan, hirarki penugasan sangat jelas. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menetapkan arah kebijakan, visi, dan misi negara. Tugas ini kemudian dijabarkan oleh para menteri ke dalam kebijakan sektoral yang lebih spesifik di kementerian masing-masing. Namun, setelah itu, tugas-tugas teknis di lapangan didelegasikan ke pejabat yang lebih rendah, dimulai dari direktur jenderal (dirjen), kemudian turun ke direktur-direktur, sub-direktorat, hingga sampai ke pegawai eselon dan staf di level terendah.
Di sinilah letak paradoksnya: semakin tinggi posisi seseorang dalam birokrasi, semakin strategis perannya, tetapi semakin sedikit pekerjaan teknis yang harus dilakukan. Para staf dan pegawai di level terendah sering kali menjadi ujung tombak yang menjalankan tugas di lapangan, melakukan pekerjaan administrasi, teknis, hingga operasional sehari-hari.
Menteri, dalam hal ini, lebih berperan sebagai manajer strategis, bukan eksekutor teknis. Mereka bertugas membuat keputusan besar, mengarahkan kebijakan, dan memastikan bahwa birokrasi di bawahnya bekerja sesuai dengan rencana. Namun, tanggung jawab langsung untuk memastikan pekerjaan tersebut berjalan dengan baik berada di tangan dirjen, direktur, hingga staf di level operasional. Dengan demikian, hirarki birokrasi ini menciptakan jarak antara perencana kebijakan dan pelaksana teknis.
Potret Pekerjaan Menteri: Di Mana Tanggung Jawabnya?
Jika kita kembali melihat bagaimana presiden di Indonesia, seperti Joko Widodo, sering terlihat “blusukan” atau terlibat dalam kunjungan-kunjungan lapangan, hal ini bisa menimbulkan pertanyaan: Apakah ini benar-benar esensi dari tugas seorang presiden? Ataukah ini lebih merupakan upaya untuk menciptakan citra seorang pemimpin yang dekat dengan rakyat?
Tugas seorang presiden, seperti juga menteri, seharusnya tidak terletak pada keterlibatan langsung dalam hal-hal teknis di lapangan. Blusukan sering dianggap sebagai cara untuk menunjukkan kepedulian, tetapi pada kenyataannya, hasil dari kunjungan tersebut mungkin lebih pada aspek simbolik ketimbang teknis. Sebaliknya, tugas teknis itu dikerjakan oleh staf paling bawah yang jarang sekali mendapat sorotan publik.
Ketika menteri menerima laporan, mereka hanya menerima informasi yang telah melalui berbagai lapisan hirarki birokrasi. Setiap level di bawahnya menyaring, memodifikasi, dan memperhalus laporan tersebut. Akibatnya, apa yang dilihat menteri sering kali bukanlah realitas langsung di lapangan, tetapi hasil dari penyesuaian informasi yang telah disusun oleh birokrasi bawahannya.
Tanggung Jawab: Di Mana Letaknya?
Dalam sistem hirarkis seperti ini, tanggung jawab juga sering kali menjadi isu yang kabur. Ketika suatu kebijakan gagal atau pelaksanaannya tidak sesuai harapan, sering kali sulit menentukan siapa yang bertanggung jawab. Apakah menteri yang salah karena kebijakannya tidak tepat? Ataukah staf di lapangan yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar? Sistem yang sangat birokratis ini sering kali membuat tanggung jawab menjadi terpecah-pecah, sehingga sulit untuk meminta pertanggungjawaban secara langsung.
Pentingnya tanggung jawab di level tertinggi sering kali diabaikan. Meski tugas teknis memang lebih berat di level bawah, tanggung jawab moral dan politik seharusnya tetap berada di pundak para menteri dan presiden. Namun, di Indonesia, budaya “lepas tangan” sering kali terjadi, di mana pejabat tinggi dapat menghindar dari tanggung jawab ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, dengan dalih bahwa masalah terjadi di level operasional.
Menutup Mata Terhadap Realitas
Kondisi ini mencerminkan kenyataan yang sering kali diabaikan: semakin tinggi posisi seseorang dalam birokrasi, semakin jauh mereka dari realitas di lapangan. Kebijakan yang dibuat sering kali tidak mempertimbangkan keadaan di tingkat bawah, di mana para pegawai lapangan berjuang menghadapi berbagai kendala operasional, birokrasi, dan sumber daya yang terbatas.
Pada akhirnya, ungkapan “jadi menteri itu mudah” bukan hanya sindiran tajam terhadap posisi tinggi dalam pemerintahan, tetapi juga mencerminkan realitas di mana beban kerja sebenarnya terletak pada mereka yang berada di level terbawah. Menteri dan pejabat tinggi mungkin bisa dengan mudah mengelak dari tanggung jawab, tetapi mereka tidak boleh melupakan bahwa pada akhirnya, tanggung jawab moral dan politik tetap berada di tangan mereka. Dan ketika hasil kebijakan tidak sesuai dengan harapan, merekalah yang harus menjawabnya.
Kesimpulan
Sistem birokrasi yang hirarkis di Indonesia menciptakan fenomena di mana beban kerja teknis semakin berkurang seiring dengan semakin tingginya posisi dalam pemerintahan. Sementara staf dan pegawai di level terendah bekerja keras untuk melaksanakan kebijakan, para menteri dan pejabat tinggi sering kali lebih fokus pada aspek strategis dan politis. Namun, penting untuk diingat bahwa tanggung jawab moral dan politik tetap berada di pundak mereka yang berada di posisi tertinggi, dan mereka tidak boleh melupakan realitas di lapangan yang dihadapi oleh para pegawai di bawahnya.