Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews. Pasca-reformasi 1998 dan lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, Indonesia
dengan kesadaran penuh dan kesepakatan semua elemen bangsa memilih demokrasi
sebagai jalan menuju tercapainya amanat konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa.
Sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi serta berdiri di
atas prinsip supremasi sipil pun dibangun.
Amanat reformasi 1998 yang lain sekaligus koreksi terhadap praktik-praktik yang
bertentangan dengan nilai demokrasi di era Orde Baru adalah reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pemisahan
TNI dan Polri, berdasarkan Ketetapan MPR No VI Tahun 2000, serta penghapusan Dwifungsi ABRI pun dilakukan.
Saat itu, Presiden BJ Habibie mengeluarkan instruksi presiden (inpres)
tentang langkah-langkah kebijakan pemisahan TNI-Polri dan diteruskan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 89 Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Penghapusan dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagai bagian integral dari reformasi TNI.
Hal itu memastikan bahwa tugas utama TNI adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, serta menegaskan pilihan TNI sendiri untuk menjadi prajurit yang profesional dan tidak menjadi alat politik kekuasaan.
Namun, hari-hari ini prinsip supremasi sipil sebagai pilar utama pemerintahan yang demokratis terancam tercederai. Pengesahan revisi UU TNI oleh pemerintah dan DPR ditengarai menjauh dari amanat reformasi, yaitu prajurit yang profesional dan tunduk kepada otoritas sipil dalam pemerintahan yang konstitusional.
Revisi UU TNI itu menyasar pada tiga hal pokok, yakni kedudukan TNI, penempatan prajurit aktif di dalam institusi sipil, dan masa pensiun prajurit TNI.
Kedudukan TNI terkait dengan pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang menjadi
kebijakan politik negara tanpa persetujuan DPR serta penambahan kewenangan lain yang
tidak ada hubungannya dengan tugas utama TNI seperti penanganan narkotika yang kemudian dieliminir.
Revisi UU TNI, khususnya Pasal 47 juga menambah jumlah institusi sipil yang bisa menerima prajurit aktif,
dari 10 menjadi 14 Institusi.
“Dinamika dalam proses pembahasan tersebut tentu saja menjadi alarm bagi tata kelola
pemerintahan demokratis karena akan berdampak pada berkurangnya keterlibatan sipil dalam pengerahan TNI, penyusunan anggaran, dan pembangunan kekuatan pertahanan,” tulis Gerakan Nurani Bangsa (GNB) dalam rilisnya, kemarin.
Selain itu, kata GNB, bisa menimbulkan penggunaan kapasitas TNI di luar fungsi dan kewenangan yang
ditetapkan dalam undang-undang.
“Hal tersebut menjadi penanda kurangnya kemauan dan
komitmen TNI untuk ditempatkan di bawah otoritas sipil,” jelas GNB.
GNB sebagai gerakan etis dan non-partisan untuk memperkuat utas cita Indonesia meyakini perlunya upaya khusus untuk merawat dan menjaga kualitas demokrasi bangsa, utamanya mempertahankan supremasi sipil sebagai pilar utama demokasi.
Terkait hal tersebut, dan melihat kondisi saat ini serta harapan akan kualitas demokrasi Indonesia yang lebih baik, GNB menyampaikan beberapa pesan.
Pertama, penempatan anggota TNI aktif ke dalam institusi sipil justru akan melemahkan
profesionalitas TNI.
“TNI menjadi tidak fokus dengan fungsi utama dan tugas pokoknya
sebagai alat negara di bidang pertahanan, sesuai amanah konstitusi,” paparnya.
Kedua, berbeda dengan tradisi sipil yang terbiasa saling berbagi perspektif dan berargumentasi
objektif untuk mendapatkan kesepakatan saat menghadapi perbedaan dalam tata kelola kehidupan
bersama, militer dididik ketat taat komando hirarkis dan berwenang melakukan kekerasan
bersenjata.
Watak khas yang positif bagi organisasi militer itu, di institusi sipil justru akan membunuh demokrasi. Hal tersebut tidak hanya menghilangkan partisipasi publik, tapi
juga berpotensi melanggar HAM dalam menata kehidupan bersama,” terangnya.
Ketiga, TNI sebagai alat negara dan DPR sebagai lembaga wakil rakyat harus mampu merawat
kepercayaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.
“Pengingkaran terhadap kehendak reformasi berupa penegakan supremasi sipil akan membuat kedua institusi
tersebut tercerabut dari akarnya, yakni rakyat. Karenanya, pemerintah dan DPR tidak boleh menyusun undang-undang yang menyimpang dari amanah UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Peran Polri.
Adapun Gerakan Nurani Bangsa terdiri atas tokoh-tokoh nasional dengan berbagai latar belakang seperti Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ahmad Mustofa Bisri, Muhammad Quraish Shihab, Mgr Ignatius
Kardinal Suharyo, Omi Komariah Nurcholish Madjid, Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, dan Pdt Jacky Manuputty.
Lalu, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Rohima Supelli, Pdt Gomar Gultom, Franz Magniz Suseno SJ, A Setyo Wibowo SJ, Ery Seda, Laode Muhammad Syarif, Lukman Hakim Saefuddin, Alissa Q Wahid dan Pdt Darwin Darmawan.