Jokowi dan Gibran adalah dua figur publik yang terlibat dalam kebohongan. Meski keduanya ayah dan anak, modus operandinya berbeda. Kebohongan mereka terbilang unik, namun sama-sama memiliki dampak moral yang meresahkan.
Kebohongan Jokowi: Esemka dan Lainnya
Jokowi, presiden dua periode, dikenal dengan kebohongan ikoniknya soal mobil Esemka. Esemka dipromosikan sebagai mobil nasional yang akan diproduksi secara massal. Namun, hingga kini, keberadaan mobil tersebut masih elusive. Banyak yang menganggap klaim ini sebagai kebohongan publik yang gagal total. Ini bukan satu-satunya. Ada banyak contoh lain di mana janji-janji Jokowi tidak sesuai realitas. Credibility Jokowi pun dipertanyakan.
Kebohongan Gibran: Fufufafa dan Masa Sekolah
Di sisi lain, Gibran punya gaya berbeda. Salah satu kebohongannya yang menonjol adalah soal akun Twitter misteriusnya, Fufufafa. Awalnya ia membantah memiliki akun tersebut, namun kemudian terbukti ia lah yang berada di baliknya. Tidak hanya itu, Gibran juga menimbulkan kontroversi saat membahas kisah sekolahnya, di mana beberapa bagian dinilai tak konsisten. Transparency Gibran dalam hal ini sangat minim.
Moralitas di Level Nasional
Dalam konteks leadership di level nasional, kedua kebohongan ini menunjukkan masalah serius pada moralitas dan ethics mereka sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki integritas. Jokowi, dengan kebohongannya tentang Esemka, dan Gibran, dengan manipulasi identitas digitalnya, sama-sama mencoreng citra mereka. Apa yang mereka lakukan jeopardize kepercayaan publik.
Kesimpulan: Pemimpin Tanpa Moralitas
Baik Jokowi maupun Gibran, dengan kebohongan masing-masing, menunjukkan bahwa mereka gagal memenuhi standar moral yang pantas. Ini bukan hanya memalukan bagi mereka pribadi, tetapi juga bagi bangsa yang mereka pimpin. Public trust mereka rusak.
Mungkin, sebagai rakyat, kita perlu reevaluate standar moralitas dalam memilih pemimpin di masa depan.