Setelah tak lagi berkuasa, Joko Widodo tampak sibuk merawat bayang-bayang masa lalunya. Dalam kegelisahan yang makin kentara, nalar sehatnya perlahan ikut lenyap.
Pernyataan Joko Widodo, “bila sudah dinyatakan oleh Ibu Rektor UGM bahwa ijazahnya asli, ya sudah,” terdengar seolah ingin menutup bab panjang polemik yang tak pernah padam. Namun justru di situlah tampak bagaimana nalar sehat seorang mantan presiden kian pudar.
Orang yang memiliki kebenaran tak perlu mencari perlindungan pada otoritas lain. Ia cukup menampakkan bukti. Tapi Jokowi memilih jalan yang berliku: berlindung di balik pernyataan Rektor UGM, seolah-olah ucapan seorang pejabat akademik bisa menggantikan bukti otentik.
Ini bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan cacat logika—appeal to authority—yakni memaksa publik untuk percaya karena yang berbicara dianggap berwenang. Padahal kebenaran tidak tumbuh dari jabatan, tetapi dari transparansi. Kalimat “ya sudah” yang diucapkannya bukan menutup masalah, melainkan memperjelas ketakutan yang tak terselubung: bahwa ia tak punya bukti yang bisa dibuka kepada publik.
Sejak itu, Jokowi seperti kehilangan keseimbangan nalar. Ia semakin hari tampak gelisah, bahkan panik. Pertemuannya dengan Presiden Prabowo di rumah pribadi sang jenderal menambah kesan bahwa Jokowi sedang berusaha mempertahankan sisa pengaruh politiknya—seolah takut kehilangan pegangan setelah lengser dari istana.
Kegelisahan itu mungkin wajar bagi seseorang yang masa lalunya masih menyimpan banyak tanda tanya. Sebab kebohongan, sekecil apa pun, akan selalu menuntut ruang untuk disembunyikan. Dan ketika ruang itu kian sempit, yang tersisa hanyalah kepanikan.
Kini, Jokowi tak lagi menjadi kepala negara, tapi bayang-bayang masa lalunya terus menghantui. Ia pernah menjual kesederhanaan sebagai simbol kejujuran, namun di ujung perjalanan, simbol itu berubah menjadi beban yang membakar kredibilitasnya sendiri.
Barangkali, inilah harga yang harus dibayar oleh seorang pemimpin yang lebih percaya pada pencitraan ketimbang kebenaran. Ketika logika digantikan oleh keyakinan semu, dan kejujuran digadaikan demi citra, maka yang tersisa hanyalah residu dari kebohongan yang kini menelan dirinya perlahan—dalam bentuk kepanikan yang tak berkesudahan.























