Fusilatnews – Tokyo, awal Oktober 2025. Di markas besar Partai Demokrat Liberal (LDP) di NagatachÅ, riuh tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan saat nama Sanae Takaichi diumumkan sebagai Presiden partai. Wajahnya nyaris tak berubah â dingin, tegas, dan tanpa ekspresi berlebihan. Di balik ketenangannya, Jepang tengah menyaksikan pergeseran besar: seorang perempuan konservatif yang selama ini dikenal keras terhadap isu keamanan dan imigrasi kini resmi memegang kendali politik tertinggi di negeri Matahari Terbit.
Bagi banyak warga Jepang, kemenangan Takaichi terasa seperti kebangkitan semangat lama â nasionalisme yang berhias disiplin dan kemandirian. Tapi bagi komunitas asing, terutama para pekerja magang dan investor luar negeri, momen itu menandai awal dari masa yang penuh ketidakpastian.
Bangkitnya Politik Penjaga Gerbang
Takaichi bukan tokoh baru dalam politik Jepang. Ia lama dikenal sebagai tangan kanan Shinzo Abe dalam arus politik sayap kanan. Selama dua dekade, ia membangun citra sebagai âpenjaga nilai Jepangâ â anti-komunis, pro-keamanan, dan skeptis terhadap globalisasi yang dianggap mengikis identitas nasional.
Kini, setelah memimpin LDP, Takaichi siap membawa kebijakan yang mencerminkan pandangannya: Jepang harus menjadi rumah yang rapat dan terjaga, bukan pasar terbuka bagi siapa saja.
âTanah Jepang hanya untuk orang Jepang,â ucapnya dalam pidato kemenangan yang disiarkan NHK. Kalimat itu disambut tepuk tangan panjang dari barisan anggota parlemen konservatif, tapi juga meninggalkan gema khawatir di luar negeri.
Properti Asing di Mata Angin
Langkah pertama Takaichi adalah memperketat kepemilikan tanah oleh warga asing. Kawasan dekat fasilitas strategis seperti pangkalan militer, pelabuhan, dan jalur kereta cepat akan dipantau khusus. Pembelian dalam jumlah besar wajib melewati verifikasi pemerintah, dan pajak tambahan bagi pembeli asing tengah disiapkan.
âIni bukan xenofobia,â kata seorang pejabat LDP kepada Yomiuri Shimbun, âini patriotisme ekonomi.â
Namun di distrik Roppongi dan Minato â dua kawasan yang banyak dihuni ekspatriat â kekhawatiran mulai terasa. Agen properti asing melaporkan penurunan minat pembeli luar negeri. âKlien saya dari Singapura dan Australia mulai ragu,â kata Hiroko Matsuda, agen properti senior di Tokyo, kepada Japan Times. âMereka takut Jepang berubah menjadi benteng yang dingin.â
Ikusei ShÅ«rÅ: Reformasi di Bawah Bayang Eksploitasi
Program magang asing yang selama ini dikritik karena rawan eksploitasi kini direvisi habis-habisan. Sistem baru bernama Ikusei ShÅ«rÅ â pelatihan dan kerja â memperpendek masa wajib kerja dari tiga tahun menjadi satu atau dua tahun. Pemerintah menambah inspeksi rutin dan hukuman berat bagi perusahaan pelanggar.
Namun reformasi ini datang dengan harga. Syarat bahasa Jepang diperketat, dan syarat visa diperluas dengan pemeriksaan latar belakang yang lebih mendalam. âKebijakan ini membuat Jepang terlihat seperti sedang memilih imigran yang ideal, bukan tenaga kerja yang nyata,â ujar Dr. Koichi Nakano, analis politik dari Sophia University.
Zero Illegal Foreigners
Di tengah isu keamanan yang makin sensitif, Takaichi meluncurkan kampanye nasional bertajuk Zero Illegal Foreigners. Pemeriksaan dokumen imigrasi diperketat, sistem digital visa terintegrasi, dan kepolisian diperintahkan melakukan razia acak.
Sebuah National Command Center dibentuk untuk mengawasi pergerakan warga asing secara terpusat. Di bawah slogan âJepang Aman, Jepang Bersih,â pemerintah memperluas undang-undang anti-spionase dan memperketat investasi asing di sektor strategis.
Bagi pendukungnya, kebijakan ini adalah bentuk kewaspadaan negara modern. Tapi bagi aktivis hak asasi, ia menghidupkan kembali trauma lama: semangat homogeneity Jepang yang menolak perbedaan.
âIni seperti 1980-an, hanya saja sekarang dengan teknologi pengawasan yang lebih canggih,â kata Reiko Mori, aktivis LSM migran di Osaka. âYang berubah hanya alatnya, bukan semangatnya.â
Dari Abe ke Takaichi: Warisan yang Diperkeras
Dalam banyak hal, Takaichi adalah penerus ideologis Shinzo Abe. Namun jika Abe masih menyisakan ruang bagi diplomasi dan investasi asing, Takaichi memilih memperkecil ruang kompromi itu.
âJika Abe menulis naskah nasionalisme Jepang, Takaichi membacakannya dengan suara yang lebih keras,â tulis Tokyo Shimbun dalam editorialnya.
Kebijakan fiskal dan sosial juga diarahkan ulang. Tunjangan bagi warga asing akan dikurangi, masa tinggal permanen dipersulit, dan izin kerja hanya diberikan bagi sektor yang benar-benar kekurangan tenaga lokal. Pemerintah berjanji meninjau ulang semua kebijakan imigrasi setiap tahun.
Bayangan Panjang Asia Timur
Di balik semua langkah domestik itu, tersimpan kalkulasi geopolitik yang dalam. Hubungan JepangâChina tengah berada di titik dingin. Ketegangan di Laut China Timur dan kekhawatiran terhadap spionase ekonomi mendorong Tokyo menutup diri lebih rapat.
Takaichi melihat keamanan nasional bukan hanya soal militer, tapi juga soal kepemilikan tanah, tenaga kerja, dan investasi. âKedaulatan Jepang tidak boleh dijual, bahkan dengan harga emas,â ujarnya.
Namun di saat Korea Selatan dan Taiwan berlomba menarik talenta global, Jepang justru menambah pagar. Negara yang dulu terkenal ramah terhadap pelajar asing kini perlahan kehilangan daya tariknya. Data Nikkei menunjukkan penurunan pendaftaran pelajar asing hingga 18 persen pada 2025 â tren yang bisa terus menurun jika kebijakan ini dijalankan konsisten.
ASEAN di Persimpangan
Negara-negara ASEAN â terutama Indonesia, Filipina, dan Vietnam â kini menatap Tokyo dengan sikap campur aduk. Jepang selama ini menjadi mitra kerja utama dan destinasi favorit bagi program magang luar negeri. Tapi reformasi Takaichi bisa mengubah arah itu.
âJika aturan diperketat, Jepang akan kehilangan banyak pekerja dari Asia Tenggara,â ujar ekonom ASEAN Institute, Dr. Nguyen Thao. âNegara-negara seperti Vietnam dan Indonesia sudah melirik Korea Selatan dan Taiwan sebagai alternatif.â
Namun sebagian diplomat melihat peluang lain. âIni momen bagi ASEAN untuk bernegosiasi,â kata Duta Besar Indonesia untuk Jepang. âKami ingin kemitraan yang lebih setara â bukan sekadar pemasok tenaga kerja, tetapi mitra pembangunan.â
Dengan kata lain, kebijakan keras Jepang bisa mendorong hubungan ekonomi yang lebih realistis di kawasan.
Jepang yang Gelisah
Kebijakan Takaichi adalah potret Jepang hari ini: negara maju yang kaya tapi menua, kuat tapi cemas. Ia ingin mempertahankan kemandirian, namun di saat yang sama bergantung pada tenaga dan investasi asing untuk bertahan.
âIni bukan Jepang yang percaya diri,â tulis Japan Times, âmelainkan Jepang yang takut kehilangan dirinya sendiri.â
Sejarah mencatat, setiap kali Jepang menutup pintunya terlalu rapat, dunia justru bergerak lebih cepat. Pertanyaannya kini: apakah Takaichi sedang melindungi Jepang â atau justru mengurungnya dalam dinding yang ia bangun sendiri?
Referensi: Sankei Shimbun (3â4 Oktober 2025), Yomiuri Shimbun (3â4 Oktober 2025), Nikkei (29 September 2025), Tokyo Shimbun (1 Oktober 2025), Japan Times (25 September & 3â4 Oktober 2025), NHK (19, 21, 22, 3 Oktober 2025), Yahoo! Japan News (19, 21, 26, 30 September 2025), dan Pernyataan resmi LDP (SeptemberâOktober 2025).























