Oleh: Murhan, R.
Alumni Akademi Maritim Indonesia – STIMAR
Sebelum dunia mengenal United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 — yang kini menjadi “konstitusi laut dunia” — laut pernah menjadi ruang tanpa batas dan tanpa hukum yang jelas. Samudra adalah panggung kebebasan sekaligus perebutan. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Namun jauh sebelum konsep “Zona Ekonomi Eksklusif” dan “laut teritorial” dikenal, masyarakat di berbagai belahan dunia telah lebih dulu menulis aturan-aturan mereka sendiri untuk menaklukkan gelombang hukum di samudra.
Dari Rhodos ke Wisby: Ketika Laut Jadi Sekolah Hukum
Sejarah mencatat bahwa hukum laut bukanlah produk modern. Ia berakar dari masa ketika layar menjadi satu-satunya tenaga penggerak, dan pedagang mengandalkan angin untuk membawa rempah, sutra, dan emas dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Salah satu catatan tertua adalah Lex Rhodia de Iactu, yang lahir di Pulau Rhodos pada abad ke-7. Hukum ini mengatur tanggung jawab bersama antara pemilik kapal dan pemilik barang jika terjadi kerugian di laut — sebuah prinsip keadilan yang sederhana namun visioner.
Beberapa abad kemudian, lahir Consolato del Mare di kawasan Mediterania sekitar tahun 1494. Dokumen ini bukan hanya kumpulan pasal, tapi juga cermin kehidupan maritim saat itu — penuh risiko, namun diatur dengan semangat saling menghormati antara pelaut dan pedagang.
Di wilayah Atlantik, muncul Rolls d’Oleron, himpunan hukum laut berbahasa Prancis Kuno yang menjadi pedoman bagi para pelaut di Prancis dan Inggris. Sedangkan di Eropa Utara, dikenal Sea Code of Wisby, yang banyak digunakan oleh para pedagang Laut Baltik dan menjadi fondasi bagi hukum maritim modern di Skandinavia dan Belanda.
Menariknya, pada masa yang hampir bersamaan, di belahan dunia timur — Nusantara — telah berkembang pula sistem hukum laut yang tak kalah maju. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis mengenal Hukum Laut Ammanna Gappa, kumpulan aturan pelayaran dan perdagangan dari Kerajaan Wajo. Ia menjadi bukti bahwa bangsa pelaut di Indonesia sudah lama memiliki kesadaran hukum maritim, jauh sebelum hukum internasional lahir di meja perundingan Barat.
Ketika Laut Jadi Ladang Perebutan
Memasuki abad ke-16 dan ke-17, lautan bukan lagi sekadar jalur perdagangan — melainkan arena perebutan pengaruh dan kekuasaan. Spanyol dan Portugis membagi lautan dunia lewat Perjanjian Tordesillas (1494), yang memberi mereka “hak istimewa” atas samudra. Namun, kebijakan itu ditentang oleh Inggris di bawah Ratu Elizabeth I yang memperjuangkan freedom of the seas — kebebasan berlayar tanpa monopoli.
Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi hukum laut modern: laut tidak boleh dimiliki oleh siapa pun, melainkan terbuka untuk semua. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Hugo Grotius dalam karya terkenalnya Mare Liberum (1609), yang menjadikan Belanda pelopor kebebasan navigasi internasional.
Jalan Panjang Menuju UNCLOS
Setelah dua perang dunia, dunia maritim menghadapi tantangan baru. Kemajuan teknologi eksplorasi laut, konflik kepentingan ekonomi, dan eksploitasi sumber daya menuntut aturan global. Maka pada tahun 1958, PBB menggelar Konferensi Hukum Laut Pertama di Jenewa.
Dari sinilah lahir berbagai konvensi penting seperti High Seas Convention (Konvensi tentang Laut Lepas), yang menetapkan prinsip dasar kebebasan laut, serta Fishing and Conservation Convention yang berupaya mengatur penangkapan ikan secara berkelanjutan.
Hasil-hasil itu kemudian menjadi pondasi bagi UNCLOS III (1982) — yang untuk pertama kalinya secara komprehensif mengatur seluruh aspek kelautan dunia: dari batas laut teritorial hingga dasar laut internasional, dari hak lintas damai hingga tanggung jawab konservasi.
UNCLOS mengubah wajah dunia maritim. Negara pantai diberi hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut, sementara laut lepas tetap diakui sebagai milik bersama umat manusia.
Dari Tradisi ke Regulasi
Menelusuri sejarah hukum laut berarti memahami bagaimana manusia berevolusi dalam memandang lautan — dari ruang bebas menjadi ruang hukum, dari milik siapa pun menjadi tanggung jawab semua.
Dari Lex Rhodia di Laut Tengah hingga Ammanna Gappa di perairan Bugis, dari perdebatan Elizabeth I hingga konferensi di Jenewa, semua menunjukkan satu hal: hukum laut lahir dari kebutuhan manusia untuk menertibkan kebebasan, agar samudra tetap menjadi sumber kehidupan, bukan sumber konflik.
Kini, ketika eksplorasi bawah laut semakin maju dan persaingan sumber daya kian tajam, semangat awal para perintis hukum laut — keseimbangan antara kebebasan dan keadilan — justru terasa semakin relevan.
Karena sesungguhnya, laut bukan hanya milik negara, tapi milik peradaban.























