OLEH : IR. ENTANG SASTRAATMADJA
Perhatian dan keberpihakan negara terhadap pembangunan pangan dalam beberapa waktu belakangan ini tampak semakin nyata. Penyebab nya tentu bisa macam-macam, tergantung dari sisi mana melihat nya. Sergapan Covid 19 yang banyak menelan korban nyawa manusia, membuat banyak negara perlu berpikir keras untuk menghadapi dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan nya.
Masalah nya menjadi semakin serius, ketika Badan Pangan Dunia (FAO) memberi “warning” akan ada nya krisis pangan dunia sebagai akibat nyata dari serangan virus Corona yang setiap saat dapat melahirkan varian baru lagi. Hal ini penting dicatat, karena soal pangan akan berkaitan dengan mati hidup nya suatu bangsa.
Pernyataan ini disampaikan Bung Karno sekitar 70 tahun lalu. Akibat nya, langkah yang tepat bila Pemerintah mempertegas lagi penting nya pengembangan food estate sebagai salah satu solusi untuk memperkokoh ketersediaan pangan di dalam negeri. Apa yang ditempuh Pemerintah tentu saja merupakan kehati-hatian Pemerintah dalam merespon peringatan FAO atas kemungkinan terjadi nya krisis pangan dunia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sebagian kebutuhan pangan pokok nya masih mengandalkan kepada impor, tentu tidak boleh main-main dalam menyikapi nya. Kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertanian, harus terus dipacu secara optimal. Pencarian inovasi dan teknologi pertanian perlu terus dikembangkan.
Para peneliti tidak perlu terganggu dengan ada nya perbedaan sikap dalam menanggapi polemik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tetap berkarya demi merah-putih. Menjawab terjadi nya krisis pangan, kita harus sudah siap sekira nya negara pengekspor pangan pokok mulai menghentikan ekspor nya.
Mereka tentu akan lebih mendahulukan kepentingan bangsa nya sendiri ketimbang bangsa kita. Arti nya, tidak bisa tidak kita harus terus memacu produksi petani dalam negeri dan pelan-pelan kita harus mampu melepas ketergantungan kepada impor. Inilah sesungguh nya esensi dari kemandirian pangan.
Kita mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri. Kita dapat hidup dari produksi dalam negeri dan tidak lagi tergantung dari hasil produksi petani luar negeri. Mengantisipasi kegagalan produksi karena ada nya iklim ekstrim, penguatan ketahanan pangan, bisa juga digarap lewat pendekatan sisi konsumsi.
Melalui pendekatan ini, kita diminta untuk dapat menekan laju konsumsi masyarakat terhadap beras. Pola makan masyarakat tidak bisa lagi hanya bertumpu kepada nasi. Namun masih banyak bahan pangan karbohidrat yang dapat dipilih sebagai “pengganti” beras atau nasi. Meragamkan pola makan memang tidak gampang untuk dilakukan.
Terlalu banyak tantangan nya bila kita ingin mengajak masyarakat untuk mengganti nasi sebagai pangan pokok nya. Yang paling bisa ditempuh adalah kita mengajak masyarakst untuk mengurangi konsumsi nasi. Kalau biasa nya satu hari tiga piring nasi (pagi-siang-sore/malam) maka dengan ada nya semangat penganeka-ragaman pangan, setiap hari cukup dua piring nasi saja.
Hal semacam ini sebetul nya telah dilakukan. Pemerintah Pusat atau Daerah tampil dengan berbagai program inovatif nya. Laju konsumsi beras memang harus di rem. Tidak boleh lagi dibiarkan. Dibandingkan dengan negara-negara sahabat, laju konsumsi beras per kapita per tahun masyarakat kita, terekam relatif tinggi.
Mereka rata-rata sudah berada di bawah angka 100. Namun, kita masih di atas angka 100 laju konsumsi beras per kapita per tahun nya. Sayang nya, langkah penganeka-ragaman pangan ini tidak berkelanjutan. Proyek nya selesai, maka program nya pun otomatis berhenti. Setiap Pemerintahan di negeri ini, terlihat tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan diversifikasi pangan ini.
Catatan kritis nya adalah mengapa Pemerintah seperti yang tidak serius dalam menerapkan kebijakan yang cukup menentukan dalam memperkuat ketahanan pangan ini ? Lalu, terobosan cerdas apalagi yang dapat kita berikan agar program diversifikasi pangan menjadi kebutuhan utama dalam upaya meragamkan pola makan rakyat agar tidak tergantung kepada satu jenis komoditas pangan karbohidrat saja ?
Dengan lahir nya Perpres 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional, kita berharap agar lembaga pangan di tingkat nasional ini benar-benar mampu merancang-bangun kembali pembangunan pangan di negeri. Badan Pangan Nasional harus mampu memposisikan spirit Swa Sembada Pangan dalam kerangka pembangunan pangan secara utuh, holistik dan komprehensif. Begitu pun dengan pemaknaan Kemandirian, Ketahanan dan Kedaulatan Pangan.
Kita percaya, Badan Pangan Nasional akan mampu memberi terobosan cerdas dalam menyelesaikan carut marut soal pangan selama ini. Badan Pangan Nasional penting pro aktif dalam mensolusikan setiap soal yang merisaukan kehidupan masyarakat. Kasus kelangkaan minyak goreng, merangkak nya harga kedelai impor Amerika, membumbung nya harga daging sapi, kelangkaan gula pasir dan komoditas pangan lain yang ditengarai menjelang Hari Raya Idul Fitri ini bakal mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan.
Soal pangan betul-betul masalah yang cukup sensitif. Penyelenggaraan pangan butuh perencanaan yang cukup matang. Kita tidak boleh terlena dengan seabreg masalah yang menghadang nya. Kita harus mampu menuntaskan nya. Bahkan kita pun dituntut untuk menetapkan arah dan kebijakan yang lebih berkualitas dalam menyambut tanda tanda jaman yang tengah bergulir. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).