Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Jakarta, Fusilatnews – Entah apa yang berkecamuk dalam benak Yusril Ihza Mahendra, sehingga dalam debutnya usai dilantik Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Senin (21/10/2024), ia menyatakan: Tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Pasalnya, tak ada genosida (pembunuhan massal) dan “ethnic cleansing” (pembersihan etnis).
Mungkin Yusril menyuarakan kepentingan tuan barunya, Prabowo Subianto. Mungkin pula ia menyuarakan kepentingan Wiranto yang juga baru dilantik Prabowo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan.
Kedua nama itu, menurut mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, harus bertanggung jawab atas kasus Penculikan 1997/1998 dan Tragedi 1998.
Wiranto selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI saat peristiwa terjadi, kata Marzuki, seperti dilansir detik.com, 12 Maret 2009, harus bertanggung jawab karena tidak melaksanakan perintah Presiden Soeharto untuk memulihkan keamanan.
Sedangkan Prabowo, kata Marzuki, harus bertanggung jawab karena saat kasus penculikan 1997/1998 terjadi, ia menjabat Komandan Jenderal Kopassus, dan saat Tragedi 1998 terjadi, Prabowo menjabat Panglima Kostrad.
Disinyalir, kasus penculikan aktivis demokrasi 1997/1998 melibatkan Tim Mawar, sebuah unit kecil di Grup IV Kopassus, bagian dari TNI Angkatan Darat (AD).
Pernyataan Yusril yang kontroversial itu pun menuai kecaman berbagai pihak. Yusril dianggap asbun (asal bunyi). Pasalnya, Komnas HAM sudah menetapkan Tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat.
Hal tersebut berdasarkan penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM pada 2003. Hasil penyelidikan Komnas HAM, terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan kemanusiaan dalam Tragedi 1998. Terjadi serangan yang meluas dan sistematis dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, penghilangan kemerdekaan, penghilangan paksa, penderitaan fisik, dan hasil itu sudah disampaikan Komnas HAM ke Jaksa Agung.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo pun sudah mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang harus segera diselesaikan, salah satunya Tragedi 1998.
Sehari kemudian, Selasa (22/10/2024), Yusril mengoreksi pernyataannya. Katanya, jika yang dimaksud pelanggaran HAM berat itu genosida dan ethnic cleansing, maka hal itu tak terjadi dalam peristiwa Tragedi 1998.
Akan tetapi, klarifikasi Yusril itu tak menyurutkan polemik yang sudah terlanjur ditimbulkannya. Ada sinyalemen, Yusril sengaja melontarkan pernyataan kontroversial itu untuk nengacak-acak memori kolektif publik yang ujung-unjungnya adalah Tragedi 1998 tak perlu diselesaikan secara hukum dengan membentuk Pengadilan HAM sesuai amanat Undang-Undang (UU) No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Korban Tragedi 1998
Dikutip dari berbagai sumber, berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), jumlah korban dalam Tragedi 1998 mencapai 1.308 orang, dengan rincian korban meninggal 1.217 orang (meninggal karena senjata 1.190 orang dan dibakar 564 orang), dan korban luka-luka 91 orang.
Korban Penculikan 1997/1998
Kasus Penculikan 1997/1998 adalah penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi yang durasinya terjadi antara Pemilu 1997 dan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Penculikan terjadi dalam tiga tahap yang berbeda: sebelum Pemilu 1997, dua bulan sebelum sidang MPR pada Maret 1998, dan sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul kembali.
Selama periode 1997/1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan 23 orang telah diculik. Dari 23 aktivis tersebut, satu orang ditemukan tewas (Leonardus “Gilang” Nugroho), 9 orang dibebaskan oleh penculiknya, dan 13 orang lainnya masih hilang hingga saat ini.
Penculikan tersebut terjadi pada tahun-tahun ketika Jenderal Wiranto menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI.
Adapun kesembilan aktivis yang dibebaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Raharja Waluya Jati, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Andi Arief.
Sementara 13 aktivis yang masih hilang hingga kini adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, dan Widji Thukul.
Lalu, Jaker, Yani Afri, Sony, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo Priyono, kendati tidak sempat diculik, namun diakui oleh Prabowo bahwa kedua orang itu pernah dia kejar.
Stockholm Syndrome
Stockholm Syndrome atau Sindrom Stockholm adalah kondisi ketika seseorang membangun ikatan yang positif dengan orang yang menculik atau menyiksanya.
Istilah Sindrom Stockholm lahir dari situasi penyanderaan yang dramatis pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Sejak itu istilah tersebut menjadi landasan penyelidikan psikologis terhadap kompleksitas kelangsungan hidup dan adaptasi manusia di bawah tekanan yang ekstrem.
Fenomena ini menggambarkan kondisi psikologis yang aneh di mana para sandera mengembangkan empati, kepercayaan, dan bahkan kasih sayang terhadap para penculik atau penyiksanya.
Apa yang dimulai sebagai mekanisme bertahan hidup dalam menghadapi ancaman dan ketidakpastian berevolusi menjadi ikatan psikologis yang mendalam yang menantang pemahaman konvensional tentang dinamika korban-pelaku.
Nah, sebagian korban Penculikan 1997/1998 pun mengalami Stockholm Syndrome. Sebut saja Desmond Junaidi Mahesa dan Pius Lustrilanang yang kemudian bergabung dengan Partai Gerindra, yang diketuai Prabowo Subianto, dan terpilih menjadi anggota DPR RI. Desmond kini sudah meninggal dunia. Namun kariernya di Gerindra diteruskan oleh putri sulungnya, Annisa Mahesa, yang terpilih menjadi anggota DPR periode 2024-2029.
Lalu, Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo Priyono yang pada Pemilihan Presiden 2024 mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kini Budiman menjadi Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan, dan Agus Jabo Priyono menjadi Wakil Menteri Sosial Kabinet Merah Putih.
Pun, Nezar Patria yang kini menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Digital di Kabinet Prabowo-Gibran.
Ketika akhirnya korban dan terduga pelaku penculikan sudah bersatu, masih patutkah disebut sebagai pelanggaran HAM berat? Biarlah waktu yang menjawab!