Dalam dunia politik, isu kejujuran dan transparansi menjadi dua pilar utama yang seharusnya dipegang teguh oleh pemimpin. Namun, ketika indikasi ketidakjujuran muncul, baik melalui fakta yang terungkap maupun spekulasi yang berkembang di masyarakat, pemimpin yang baik akan segera bertindak untuk menepis dugaan tersebut, memberikan bukti yang jelas dan transparan. Sayangnya, dalam kasus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan putranya, Gibran Rakabuming Raka, pola yang berulang justru muncul, di mana isu-isu sensitif ini tidak ditanggapi secara langsung, seolah-olah membiarkan kontroversi berkembang di masyarakat.
Kasus Ijazah Jokowi: Membiarkan Keraguan Berkembang
Isu terkait keaslian ijazah Jokowi sudah lama menjadi perbincangan publik. Ketika pertanyaan tentang keabsahan ijazahnya mencuat, langkah paling sederhana dan efektif yang bisa dilakukan Jokowi adalah menunjukkan ijazah aslinya kepada publik. Ini bukanlah tindakan yang rumit atau memerlukan proses panjang. Cukup dengan memperlihatkan dokumen asli di hadapan masyarakat, isu tersebut bisa langsung diselesaikan. Namun, Jokowi memilih tidak melakukannya.
Sebaliknya, ia seakan membiarkan isu ini menjadi bola liar di masyarakat, memunculkan perdebatan antara kelompok yang percaya dan yang meragukan keaslian ijazahnya. Dampaknya, polarisasi di masyarakat semakin tajam. Padahal, langkah sederhana untuk menghentikan spekulasi ini sudah jelas: perlihatkan bukti yang tak terbantahkan. Dengan tidak melakukannya, Jokowi membuka ruang bagi kesimpulan bahwa tuduhan ijazah palsu itu benar.
Gibran dan Kasus Akun Fufufafa: Seolah Membiarkan Tuduhan Menguat
Kasus serupa terjadi pada Gibran Rakabuming Raka, di mana dirinya dituduh memiliki akun media sosial anonim bernama “fufufafa.” Akun tersebut terlibat dalam sejumlah aktivitas yang mencurigakan dan menuai kontroversi. Ketika tuduhan tersebut mencuat, langkah logis yang bisa diambil oleh Gibran adalah mengundang pihak netral, seperti ahli IT Roy Suryo, untuk duduk bersama dan membuktikan bahwa akun tersebut bukan miliknya. Proses ini bisa dilakukan secara terbuka dan transparan, sehingga masyarakat dapat melihat fakta yang sebenarnya.
Namun, seperti halnya Jokowi, Gibran memilih untuk tidak melakukan langkah tersebut. Ia membiarkan tuduhan ini terus berkembang tanpa bukti konkret yang bisa menepisnya. Ketika ia tidak mengambil langkah yang jelas untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan ini, masyarakat tentu saja sampai pada kesimpulan bahwa akun tersebut memang miliknya. Seperti Jokowi, Gibran seolah membiarkan isu ini menjadi bola liar di masyarakat, tanpa berupaya untuk memberikan klarifikasi yang memadai.
Dampak Pada Kepercayaan Publik: Kejahatan Yang Harus Diproses Hukum
Kedua kasus ini menyoroti pola yang sama: ketidakmauan atau ketidakmampuan untuk menghadapi isu secara langsung dan transparan. Ini bukan hanya soal teknis, seperti menunjukkan ijazah atau membuktikan identitas akun. Lebih dari itu, ini adalah soal kejujuran dan kepercayaan publik. Ketika pemimpin atau figur publik tidak mengambil langkah untuk menepis tuduhan serius, mereka merusak integritas yang seharusnya dijaga.
Dalam masyarakat demokratis, kepercayaan publik adalah fondasi dari legitimasi kekuasaan. Ketika pemimpin tidak mampu menjaga transparansi dan memilih untuk membiarkan masyarakat terpecah oleh isu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah, maka kepercayaan publik pun terkikis. Ini adalah bentuk kejahatan yang tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada stabilitas sosial dan politik negara. Oleh karena itu, isu-isu seperti ini seharusnya dapat diproses di ranah hukum untuk memastikan bahwa kejujuran dan transparansi tetap menjadi prinsip utama yang dipegang oleh para pemimpin.
Kesimpulan: Kesalahan Pola dan Bahaya Polarisasi
Baik dalam kasus Jokowi maupun Gibran, pola yang sama terlihat jelas: ketika dihadapkan pada isu yang sensitif, mereka memilih untuk tidak mengambil langkah transparan. Mereka seakan-akan membiarkan spekulasi berkembang dan masyarakat terpecah antara pro dan kontra. Pada akhirnya, ketika tidak ada bukti kuat yang disajikan untuk menepis tuduhan, masyarakat cenderung mempercayai hal yang paling mencolok, yaitu bahwa tuduhan tersebut benar adanya.
Ini adalah pola berbahaya yang merusak kepercayaan publik dan memperburuk polarisasi di masyarakat. Sebagai pemimpin, baik Jokowi maupun Gibran seharusnya bisa memberikan contoh dengan bersikap jujur dan terbuka. Dengan membiarkan isu-isu ini tidak terselesaikan, mereka bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga masyarakat yang mereka pimpin. Kejahatan dalam bentuk ketidaktransparanan ini seharusnya menjadi perhatian serius dan diproses sesuai hukum agar prinsip kejujuran tetap dijunjung tinggi.