Dalam berita berjudul “Pindah Rumah Saja Ruwet, Pindah Ibu Kota Jangan Dikejar-kejar,” muncul sebuah narasi yang terkesan murahan dan nir akal sehat. Komentar yang tepat terhadap narasi tersebut adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Siapa yang meminta dia untuk pindah Ibu Kota? Dan siapa yang mengejar agar Ibu Kota Jakarta segera dipindahkan ke Kalimantan Timur?”
Faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia justru menolak rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Paser-Senajam. Jokowi sendirilah yang menjanjikan bahwa Ibu Kota dan Istana di Kalimantan Timur akan siap ditempati pada tahun 2024, serta menyatakan bahwa para ASN di Jakarta akan dipindahkan. Ia juga yang mengklaim bahwa puluhan investor asing telah antre untuk menanamkan modalnya di IKN.
Ironisnya, rakyat yang bersikap kritis terhadap pemindahan IKN ke Kalimantan Timur dipenjara karena penolakan mereka. Hal ini menggambarkan perilaku Jokowi yang semakin tampak seperti seorang monster politik, atau setidaknya contoh buruk dari seorang pemimpin di dunia saat ini. Oleh karena itu, Jokowi harus diproses secara hukum agar dapat menjadi pelajaran bagi para pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan seperti dirinya di masa depan.
Jika ternyata Jokowi berpura-pura terganggu ingatannya, maka ia harus ditahan di sel khusus di rumah sakit jiwa untuk dirawat hingga sembuh, dan tetap diproses secara hukum demi rasa keadilan yang setara dan penegakan hukum yang adil.
Selain itu, tanggung jawab moral juga harus dipikul oleh para pemilih Jokowi, termasuk Kelompok Projo dan pendukung utamanya. Mereka harus bersuara lebih lantang kepada pemerintah baru agar Jokowi diadili atas kinerja dan janji-janji politiknya. Ini penting sebagai bentuk keseriusan anak bangsa yang merasa tertipu serta implementasi penyesalan atas kekeliruan mereka dalam mendukung Jokowi dan kepemimpinannya selama dua periode.
Sangat keliru dan memalukan jika ada sensasi politik dari sebuah kelompok yang bermanuver dengan gaya “psikologis massa” untuk tetap mengawal dan membela Jokowi serta keluarganya tanpa mempertimbangkan fakta-fakta yang ada.