Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“
Kalimat tersebut diucapkan John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS) Periode (1961-1963) yang artinya, “Loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada negara dimulai.”
Jika apa yang diucapkan JFK itu dilaksanakan oleh Presiden RI Prabowo Subianto, niscaya tidak akan terjadi polemik sedemikian rupa terkait indikasi cawe-cawe, ikut campur atau intervensi negara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terutama di Provinsi Jawa Tengah.
Diketahui, Prabowo mengajak rakyat Jateng untuk memilih calon gubernur-wakil gubernur nomor urut 2 di Pilkada Jateng 2024, yakni Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, salah satunya Partai Gerindra. Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra.
Ahmad Luthfi-Taj Yasin akan berhadapan dengan cagub-cawagub nomor urut 1 yang diusung PDI Perjuangan, yakni Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi.
Ahmad Luthfi adalah bekas Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jateng, sedangkan Taj Yasin adalah bekas Wakil Gubernur Jateng.
Adapun Andika Perkasa adalah bekas Panglima TNI, sementara Hendrar Prihadi adalah bekas Walikota Semarang, Jateng, selama dua periode.
Ajakan Prabowo memilih Ahmad Luthfi-Taj Yasin diketahui dari unggahan akun Instagram Ahmad Luthfi, @ahmadluthfi_official, Sabtu (9/11/2024) siang.
Prabowo berdalih, dalam program kerjanya, bekas Komandan Jenderal Kopassus itu bertekad mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia, sehingga diperlukan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Apalagi Luhfi dan Yasin sudah berpengalaman.
Pihak Istana dan Gerindra kemudian sibuk mencari alasan untuk membela dan melakukan pembenaran terhadap langkah kontroversial Prabowo Subianto.
Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, misalnya, menjelaskan ajakan itu Prabowo sampaikan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, katanya, Sabtu (9/11/2024) malam, Prabowo menandatangani rekomendasi untuk calon-calon kepala daerah.
Senada, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pejabat negara, termasuk Presiden diperbolehkan berkampanye politik sesuai aturan yang berlaku.
Dasco yang juga Wakil Ketua DPR itu, Minggu (10/11/2024), menegaskan dukungan Prabowo kepada pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin pada Pilkada Jateng 2024 sebagai sikap wajar seorang Ketua Umum Partai Gerindra yang merupakan bagian dari koalisi partai pengusung.
Ajakan Prabowo kepada warga Jateng untuk memilih Luthfi-Yasin, kata Dasco, bahkan hal lumrah yang dilakukan para ketua umum partai politik sebagai pengusung.
Dasco kemudian menyebut langkah Prabowo mengampanyekan salah satu calon pada Pilkada 2024 diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam beleid itu, klaimnya, disebutkan bahwa seorang Presiden sebagai pejabat negara boleh berkampanye, dalam artian menyerukan, mengimbau, mengajak memilih salah satu paslon dalam Pilkada, sepanjang dalam status cuti kampanye atau sepanjang kampanyenya dilakukan di hari libur, Sabtu atau Minggu, sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024.
Mengikuti Jejak Jokowi
Katakanlah secara legal-formal tak ada masalah. Tapi bagaimana secara moral?
Pun dari sisi keadilan. Bagaimana bisa seorang kepala negara yang mestinya mengayomi semua kekuatan politik ternyata mendukung salah satu pihak?
Seperti kata JFK, mestinya begitu Prabowo dilantik menjadi Presiden RI, saat itu pula aktivitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra berakhir. Statusnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra pun semestinya secara “de facto” ditanggalkan, meskipun secara “de jure” status itu tetap melekat.
Ini hanya soal moralitas dan kepatutan saja. Bukan soal aturan perundang-undangan yang memang sengaja disusun untuk menguntungkan pemerintah.
Namun jika kita cermati lebih jauh, ternyata apa yang dilakukan Prabowo menjelang Pilkada 2024 itu sekadar mengikuti jejak pendahulunya, Presiden ke-7 RI Joko Widodo menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
Saat itu Jokowi terang-terangan mengaku akan cawe-cawe di Pilpres 2024. Cawe-cawe yang dilakukan wong Solo itu bahkan terlampau jauh.
Ia, misalnya, mengajukan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presidennya Prabowo Subianto.
Untuk itu, Jokowi pun diduga melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu diketuai adik iparnya, Anwar Usman terkait Putusan MK No 90 Tahun 2023 yang meloloskan Gibran sebagai cawapres kendati usia Gibran saat itu baru 36 tahun, belum 40 tahun, hanya karena Gibran sedang menjabat Walikota Surakarta, Jateng.
MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dari semula 40 tahun menjadi boleh kurang dari 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat kepala daerah.
Jokowi juga diduga mengintervensi KPU sehingga meloloskan Gibran begitu saja tanpa mengubah PKPU yang mengatur syarat usia minimal capres-cawapres. Akibatnya, seluruh komisioner KPU, termasuk ketuanya, Hasyim Asy’ari mendapatkan sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berupa peringatan terakhir.
Belakangan Hasyim Asy’ari dicopot dari jabatan Ketua KPU karena terlibat perbuatan asusila.
Alhasil, seandainya Prabowo melaksanakan apa yang dikatakan JFK, yakni loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada negara dimulai, niscaya tidak akan terjadi polemik berkepanjangan seperti sekarang ini terkait netralitas seorang Presiden atau Kepala Negara dalam Pilkada 2024 yang disinyalir akan merusak demokrasi.
Konsekuensinya, Prabowo hanya menjadi milik Partai Gerindra, belum menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Itulah!