Fusilatnews – Pengantar
Dalam sistem hukum, khususnya dalam hukum pidana, dikenal adanya tiga bentuk hak prerogatif Presiden yang diberikan oleh konstitusi, yakni grasi, amnesti, dan abolisi. Meskipun ketiganya berkaitan dengan penghapusan atau pengampunan hukuman, ketiganya memiliki makna, fungsi, dan dampak yang berbeda. Dalam tulisan ini, kita akan menyoroti secara khusus mengenai abolisi—maknanya, fungsi hukumnya, serta contoh kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia.
Pengertian dan Dasar Hukum Abolisi
Abolisi berasal dari bahasa Latin abolitio, yang berarti penghapusan atau pembatalan. Dalam konteks hukum Indonesia, abolisi adalah penghapusan tuntutan pidana terhadap seseorang yang masih dalam proses peradilan, yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia.
Dasar hukum pemberian abolisi terdapat dalam:
- Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Presiden memberi abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyinggung mengenai pengaruh abolisi terhadap proses hukum.
Dengan abolisi, proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap seseorang dihentikan, meskipun perkara tersebut belum mendapatkan putusan dari pengadilan.
Makna dan Tujuan Abolisi
Pemberian abolisi memiliki makna strategis dalam sistem ketatanegaraan dan hukum, antara lain:
- Korektif terhadap penyimpangan hukum
Abolisi dapat digunakan Presiden untuk menghentikan proses hukum yang dinilai tidak adil, sarat muatan politis, atau bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. - Alat rekonsiliasi politik dan sosial
Dalam konteks tertentu, abolisi digunakan sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional atau demi stabilitas negara. - Perwujudan hak prerogatif Presiden yang terbatas
Presiden tidak bisa sembarangan memberikan abolisi. Ia harus memperhatikan pertimbangan dari DPR. Hal ini merupakan bentuk check and balance agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh Kasus Abolisi di Indonesia
Beberapa kasus abolisi yang pernah terjadi menunjukkan latar belakang yang beragam, dari alasan politis hingga kemanusiaan.
1. Kasus Sri Bintang Pamungkas (1999)
Pada masa awal reformasi, Presiden B.J. Habibie memberikan abolisi kepada beberapa tahanan politik Orde Baru, termasuk Sri Bintang Pamungkas, yang saat itu sedang menjalani proses hukum atas tuduhan subversi. Abolisi ini menjadi simbol rekonsiliasi dan pembebasan politik dari represi rezim sebelumnya.
2. Kasus Muchtar Pakpahan
Aktivis buruh yang juga sempat menjadi tahanan politik ini mendapatkan abolisi pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Ia dijerat pasal subversi oleh pemerintahan Orde Baru karena perjuangannya membela hak-hak buruh.
3. Abolisi bagi Tapol/Napol Timor Timur (1999)
Masih di masa Habibie, pemerintah memberikan abolisi kepada sejumlah tahanan politik dan narapidana politik asal Timor Timur menjelang referendum kemerdekaan wilayah tersebut.
Isu dan Kontroversi seputar Abolisi
Pemberian abolisi kadang menuai kritik, terutama jika:
- Dinilai membebaskan pelaku kejahatan berat yang seharusnya diproses hukum,
- Digunakan untuk melindungi kroni politik atau membungkam proses keadilan,
- Diberikan tanpa kejelasan alasan moral atau yuridis yang kuat.
Oleh karena itu, meskipun abolisi adalah hak prerogatif Presiden, prosesnya tetap harus mengedepankan akuntabilitas, keterbukaan, dan kepatutan hukum, agar tidak merusak kepercayaan publik terhadap hukum.
Penutup
Abolisi adalah instrumen penting dalam sistem hukum Indonesia yang, bila digunakan secara bijak, dapat menjadi jalan keadilan alternatif di tengah kebuntuan hukum formal. Namun, dalam sejarah Indonesia, praktik pemberian abolisi juga mengandung risiko penyalahgunaan jika tidak dikawal dengan ketat oleh publik dan lembaga legislatif. Oleh karena itu, pemberian abolisi harus disertai dengan pertimbangan yang matang, demi menjaga integritas hukum dan keadilan itu sendiri.