*Oleh: Malika Dwi Ana
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam mencapai kedaulatan energi. Salah satu isu yang mencuat adalah ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat, ditambah dengan insiden kebakaran kilang minyak Pertamina dan gangguan distribusi BBM. Dalam kerangka Isu-Tema/Agenda-Skema (ITS) yang diuraikan oleh pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk perang non-militer yang bertujuan melemahkan ketahanan energi nasional. Artikel ini menganalisis pola dan alur impor BBM, keterlibatan aktor asing dalam proyek energi, serta implikasi strategisnya terhadap kedaulatan Indonesia.
Pola Impor BBM: Ketergantungan yang Mengkhawatirkan
Indonesia telah menjadi importir neto BBM sejak 2004, dengan ketergantungan impor mencapai lebih dari 50% kebutuhan nasional pada 2018, dan tren ini terus meningkat hingga 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa produksi minyak mentah domestik hanya mencapai 608.100 barel per hari pada 2025, sementara konsumsi BBM non-subsidi saja mencapai 4,75 juta kiloliter pada Januari-Juli 2025. Akibatnya, impor BBM diperkirakan mencapai 1,4 juta barel per hari pada 2025, dengan biaya tahunan sekitar *US$45 miliar. Defisit perdagangan migas pada periode yang sama mencapai **US$10,41 miliar*, menunjukkan kerentanan ekonomi yang signifikan.
Pola impor didominasi oleh Singapura (sekitar 55% dari total impor BBM) dan China (25%), dengan Singapura berperan sebagai pusat rafinasi regional dan China sebagai pemasok utama peralatan dan bahan baku. Ketergantungan ini diperparah oleh rendahnya utilisasi kilang domestik, seperti di Balikpapan dan Cilacap, yang hanya beroperasi pada 50% kapasitas akibat kurangnya investasi. Tren ini diperkirakan berlanjut, dengan proyeksi impor gasoil tetap tinggi meskipun ada upaya menggenjot biodiesel B50 (campuran 50% sawit) untuk mengurangi impor hingga 20,1 juta kiloliter per tahun pada 2026.
Dalam kerangka ITS, pola ini menciptakan isu kerentanan pasokan energi, yang dapat dimanfaatkan untuk menggiring opini publik bahwa Indonesia tidak mampu mengelola sumber daya energinya sendiri. Maka lalu menjadi landasan bagi agenda berikutnya; yakni ketergantungan impor permanen dan transisi energi yang bergantung pada teknologi asing.
Alur Impor BBM: Sistem yang Terkonsentrasi namun Rentan
Alur impor BBM di Indonesia diatur oleh Perpres No. 191/2014 (terakhir diubah 2021), yang mengutamakan produksi domestik namun mengizinkan impor jika pasokan lokal defisit. Sejak 2025, kebijakan single-gateway melalui Pertamina mewajibkan semua impor BBM dilakukan oleh BUMN ini, dengan tujuan efisiensi. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi menciptakan monopoli dan mengurangi kompetisi.
Tahapan alur impor meliputi:
1. Perencanaan: Kementerian ESDM dan SKK Migas menetapkan kebutuhan BBM berdasarkan produksi domestik. Jika defisit, izin impor dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan.
2. Pelaksanaan: Pertamina mengimpor BBM dari supplier utama (Singapura, Timur Tengah, China) dan mendistribusikannya melalui kilang domestik, meskipun kapasitas terbatas.
3. *Distribusi: BBM disalurkan ke SPBU dan sektor industri, dengan subsidi pemerintah mencapai **Rp500 triliun per tahun* (2024). Impor non-Pertamina hanya mencakup 15% kebutuhan non-subsidi.
4. *Pengawasan*: ESDM dan SKK Migas memantau, tetapi kebocoran seperti penyelundupan BBM masih sering terjadi, memperburuk defisit.
Alur ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya sentralisasi, ketergantungan pada supplier asing tetap tinggi. Dalam konteks ITS, ini menjadi skema untuk mempertahankan impor BBM secara permanen, yang menguras devisa dan meningkatkan risiko geopolitik, terutama saat harga minyak global melonjak akibat konflik (misalnya, di Timur Tengah).
Keterlibatan Aktor Asing: Peluang atau Ancaman?
Aktor asing memainkan peran besar dalam sektor energi Indonesia, menyumbang sekitar 70% investasi asing langsung (FDI) antara 2020-2025, dengan total proyeksi FDI energi hingga US$545 miliar hingga 2040. Negara-negara seperti *Singapura, **AS, **Belanda, **Jepang, dan **China* mendominasi, dengan China menyumbang *US$35 miliar* (25% ke energi) sejak 2006 hingga 2022.
Peran Aktor Asing:
– *Sektor Hulu (Upstream): Perusahaan seperti **Chevron* (AS, menyumbang 40% produksi minyak), *ExxonMobil, **ConocoPhillips, dan **BP Tangguh* (Inggris) menguasai eksplorasi dan produksi. Namun, kebijakan nasionalisasi (misalnya, pengalihan blok Rokan ke Pertamina) mengurangi minat investor asing, meskipun Indonesia membutuhkan *US$20 miliar* untuk mencapai target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.
– *Sektor Hilir (Downstream)*: Singapura mendominasi pasokan BBM melalui hub rafinasi, sementara China menyediakan peralatan dan bahan baku. Kebijakan single-gateway Pertamina tidak mengurangi ketergantungan pada supplier asing.
– *Energi Terbarukan dan Transisi Energi: China menguasai investasi di proyek hidro dan surya (misalnya, PLTS Cirata 145 MW), sementara Jepang fokus pada geothermal dan AS pada solar PV. Target energi terbarukan **23% pada 2025* masih jauh dari realisasi (hanya 0,3% potensi terpakai), dengan kebutuhan investasi *US$50 miliar. China juga mendominasi pengolahan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV) melalui perusahaan seperti Tsingshan Group, meskipun regulasi **Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40%* menghambat.
*Implikasi ITS: Keterlibatan aktor asing mendukung pembangunan infrastruktur energi, tetapi juga menciptakan risiko penguasaan pasar, terutama di sektor kendaraan listrik dan baterai. Dalam kerangka ITS, agenda transisi energi yang didorong oleh investasi asing dapat menjadi **skema* untuk mengikat Indonesia pada teknologi dan utang asing, terutama melalui lembaga multilateral seperti IMF atau Bank Dunia, yang sering kali dikaitkan dengan kebijakan “paksa” untuk adopsi energi hijau.
Ancaman Perang Non-Militer: Melemahkan Kedaulatan Energi
Dalam kerangka ITS, kebakaran kilang minyak (seperti yang terjadi di Balongan atau Cilacap) dan gangguan distribusi BBM dapat dilihat sebagai isu yang memicu persepsi ketidakmampuan domestik. Agenda yang digulirkan meliputi:
1. *Ketergantungan Impor Permanen: Dengan mengganggu produksi domestik, Indonesia dipaksa terus mengimpor BBM, menguras devisa hingga **US$45 miliar per tahun*.
2. *Transisi Energi Paksa*: Gangguan BBM menjadi alasan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik, yang pasarnya dikuasai oleh aktor asing, terutama China.
Skema akhirnya adalah penguasaan pasar energi Indonesia, baik melalui impor BBM berkelanjutan maupun dominasi teknologi EV dan baterai. Selain itu, tekanan dari lembaga multilateral untuk transisi energi sering kali disertai utang, yang dapat mengikat Indonesia pada kebijakan dan teknologi asing.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi ancaman perang non-militer ini, Indonesia perlu:
1. Tingkatkan Kapasitas Kilang: Investasi pada modernisasi kilang (seperti proyek RDMP Pertamina) untuk kurangi impor hingga 30% pada 2030.
2. Manfaatkan Sumber Daya Lokal: Percepat implementasi biodiesel B50 dan eksploitasi nikel untuk baterai EV, dengan memperkuat TKDN hingga 60%.
3. Kebijakan Nasionalisasi Seimbang: Dorong kemitraan publik-swasta (PPP) untuk tarik investasi tanpa kehilangan kendali atas aset strategis.
4. Perkuat Pengawasan: Cegah kebocoran impor dan sabotage kilang melalui audit ketat dan teknologi keamanan.
Kesimpulan
Pola impor BBM yang terus meningkat, alur yang bergantung pada supplier asing, dan keterlibatan aktor asing dalam proyek energi menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap ancaman perang non-militer. Dalam kerangka ITS, isu seperti kebakaran kilang dan gangguan BBM dapat menjadi alat untuk menggiring agenda ketergantungan impor dan transisi energi yang tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia. Dengan pengelolaan strategis dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional, Indonesia dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk mencapai kedaulatan energi sejati. Pemantauan laporan ESDM 2026 dan investigasi lebih lanjut terhadap insiden kilang akan krusial untuk memastikan langkah ke depan.(MDA)
*Wukir Mahendra, 08102025
*Oleh: Malika Dwi Ana





















