Jakarta, Fusilatnews – Polda Sulawesi Tengah mengajak wartawan atau jurnalis untuk mengikuti lomba artikel jurnalistik dan berkesempatan untuk mengkritik Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian berita yang kita baca, Rabu (19/6/2024) kemarin.
Lomba tersebut patut diapresiasi. Artinya, polisi kini sudah tidak antikritik lagi. Bandingkan dengan kasus Ismail Ahmad yang sempat ditangkap Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara, empat tahun lalu, medio Juni pula, gegara mengkritik polisi. Padahal kritik itu disampaikan dengan humor.
Ya, mungkinkah Ismail Ahmad alias Riman Losen (saat itu 41 tahun) membayangkan dirinya hidup di Jerman semasa Adolf Hitler (1889-1945) dengan Nazi-nya berkuasa?
Mungkinkah pula Ismail membayangkan dirinya hidup di Rusia semasa Josef Stalin (1878-1953) dan komunismenya mulai berjaya?
Mungkin saja. Atau mungkin ia terinspirasi Aristoteles (384-322 SM), filsuf asal Yunani itu yang menyatakan, “Rahasia dari humor adalah kejutan.”
Mungkin pula Ismail terinspirasi Simon Wiesenthal (1908-2005), penulis dan pemburu Nazi dari Austria itu yang menyatakan, “Humor adalah senjata orang-orang tak bersenjata: humor membantu orang-orang tertindas untuk tersenyum pada situasi mereka terluka.”
Tapi, semua itu mungkin tidak. Sebab yang pasti, Ismail terinspirasi KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), Presiden ke-4 RI yang menyatakan, “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat.”
Ya, gara-gara terinspirasi Gus Dur, dan lantas ia mengunggah humor, lelucon, joke, atau anekdotnya soal polisi jujur di akun Facebook-nya, @MaelSula, Jumat (12/6/2020), Ismail Ahmad harus berurusan dengan polisi: “diinterogasi”, dikenakan wajib lapor, diharuskan menghapus “quote” humor Gus Dur yang ia “upload” itu, dan meminta maaf sehingga akhirnya dibebaskan, Selasa (16/6/2020).
Kini, Ismail memang telah dilepaskan oleh Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara. Tapi cara dia mengkritik Polri, dan cara Polri merespons kritik tersebut, sudah terlanjur terpatri di benak publik. Ismail mengajarkan “mati ketawa cara Rusia”.
“Mati Ketawa Cara Rusia”, sebuah buku yang menjadi “best seller” tahun 1983, berisi anekdot-anekdot yang menggambarkan betapa sulitnya rakyat Rusia mengungkapkan protes atau ketidakpuasan di masa cengkeraman komunisme era Leonid Ilyich Brezhnev (1906-1982) yang memimpin Rusia sejak 1964 hingga kematiannya.
Hingga hari-hari terakhir menjelang bubarnya rezim komunis Uni Soviet tahun 1991, orang-orang Rusia masih tetap menggunakan humor bernada satire itu untuk melepaskan diri dari kenyataan hidup yang getir dan suram, seperti stagnasi ekonomi, kekurangan makanan dan antrean panjang untuk sekadar mendapatkan sepotong roti.
Apakah Ismail merasa tak puas dengan kinerja Polri saat itu? Apakah Ismail merasa kesulitan untuk melontarkan kritik sebagaimana bangsa Jerman di era Nazi Hitler atau bangsa Rusia di masa Stalin kemudian Brezhnev, di mana saat itu rakyat diinteli bahkan tembok pun ibaratnya bisa mendengar?
Ataukah Ismail punya motif dendam dan kebencian terhadap polisi, “mens rea” yang hendak digali polisi sehingga ia harus “diamankan”?
Ternyata tidak. Ismail sekadar iseng. Ia berdalih, kelakar yang sudah familiar itu tertarik ia unggah karena memang lucu dan menarik, yakni, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.”
Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah Kepala Polri periode 1969-1971 yang dikenal jujur, berani dan bersahaja, kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah membuat pernyataan permintaan maaf secara tertulis, akhirnya Ismail dilepaskan. Ismail sempat hendak dijerat dengan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tapi urung.
Secara hukum, Ismail mungkin dianggap tidak bersalah. Tapi secara moral mungkin ia dianggap bersalah. Buktinya, ia harus menulis pernyataan permintaan maaf segala. Jika tidak, proses hukum akan dilanjutkan.
Alkisah, Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) biasa menyampaikan kritik melalui lelucon atau anekdot. Anekdot “tiga polisi jujur’ adalah salah satu yang paling terkenal dari humor Gus Dur.
AS Hikam, Menteri Riset dan Teknologi era Gus Dur, dalam bukunya yang berjudul, “Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita” (2013), menulis, humor tersebut pertama kali ia dengar pada 2008 ketika bertamu ke rumah Gus Dur. Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik.
Ada aksioma, salah satu indikator kecerdasan seseorang ialah ia mampu menertawakan kekonyolannya sendiri.
Sebuah sumber menyebut, humor adalah salah satu cara menertawakan kekonyolan manusia. Rasa humor yang muncul dalam keseharian hidup masyarakat bahkan mencerminkan daya tahan masyarakat itu sendiri yang tinggi dalam menghadapi kepahitan dan kesengsaraan hidup.
Selain itu, kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di lain pihak.
Alhasil, disadari atau tidak, Ismail Ahmad telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana “mati ketawa cara Rusia”, meski hal itu bermula dari keisengan belaka. Dengan itu, ia pun membuat kejutan, karena rahasia dari humor adalah kejutan.
Ismail juga telah berhasil mengubah humor menjadi senjata, membantu orang-orang tertindas untuk tersenyum pada situasi mereka terluka!
Jakarta, 20 Juni 2024
Karyudi Sutajah Putra