OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Bulog sebagai pelindung petani memiliki arti bahwa Bulog berperan sebagai lembaga yang melindungi kepentingan petani. Paling tidak, ada 5 hal yang dapat ditempuh oleh Perum Bulog, pertana, membeli hasil panen petani dengan harga yang wajar, sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang stabil. Kedua, berperan dalam mengatur harga beras, sehingga petani dapat memperoleh harga yang wajar untuk hasil panen mereka.
Ketiga, menyediakan fasilitas seperti gudang penyimpanan, alat pertanian, dan lain-lain untuk membantu petani dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil panen. Keempat, berperan dalam melindungi petani dari spekulator yang dapat memanipulasi harga beras dan merugikan petani. Dan kelima, berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dengan menyediakan program-program yang dapat membantu meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup petani.
Dengan demikian, Bulog sebagai pelindung petani dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan memastikan bahwa petani dapat memperoleh harga yang wajar untuk hasil panen mereka. Lewat langkah demikian, Bulog sesungguhnya mampu tampil sebagai lembaga pangan yang dapat merubah nasib dan kehidupan petani ke suasana yang lebih baik.
Ketika Presiden Prabowo berharap agar Perum Bulog, segera “dibebaskan” statusnya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebetulnya banyak kaum tani yang berharap agar “Bulog Baru” nantinya mampu menjalin persahabatan yang lebih nyata dengan para petani. Jargon Bulog sahabat sejati Petani, betul-betul perlu dibuktikan dan bukan hanya sebuah omon-omon belaka.
Selama 21 tahun jadi BUMN, Perum Bulog ternyata tidak mampu mempertontonkan diri sebagai lembaga bisnis yang handal dan profesional. Boro-boro tercatat sebagai “raksasa bisnis pangan”, sekedar menggarap usaha baru diluar perberasan, Perum Bulog seperti yang kesulitan. Selama jadi BUMN, Perum Bulog terbukti tidak mampu menampilkan diri sebagai lembaga bisnis yang menjanjikan.
Justru yang terjadi selama kurun waktu tersebut, kembali Perum Bulog menunjukkan kepiawaiannya sebagai operator pangan yang melaksanakan tugas tanggungjawab sosialnya. Tentu kita ingat dengan Program Beras untuk rakyat miskin (RASKIN) di awal tahun 2000an. Atau kita juga mengenal dengan baik Program Bantuan Langsung Beras kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat selama 12 bulan.
Yang lebih teruji lagi adalah penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyelenggarakan impor beras dari berbagai negara sahabat. Kebijakan impor beras yang selama ini dituding banyak nelahirkan perkeliruan, ternyata mampu dilaksanakan dengan baik, sekalipun di sana-sini masih ada masalah yang perlu ditangani lebih baik. Contoh konkritnya kasus “demurrage” impor beras, yang hingga kini masih belum ada pemecahannya.
BULOG (Badan Urusan Logistik) memiliki hubungan yang erat dengan petani dalam beberapa aspek, diantaranya pembelian gabah dan beras dari petani. Dalam hal ini, BULOG membeli beras langsung dari petani untuk memasok kebutuhan pangan nasional. Kemudian, penyediaan benih dan pupuk. Dalam hal ini BULOG menyediakan benih dan pupuk berkualitas untuk petani. Dan pengembangan teknologi pertanian, dimana BULOG bekerja sama dengan petani untuk mengembangkan teknologi pertanian yang lebih efesien.
Saat Bulog terbebas dari status “perusahaan plat merah”, praktis Bulog menjadi lembaga otonom Pemerintah yang memiliki kehormatan dan tanggungjawab melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap kaum tani. Itu sebabnya, kita berkeyakinan, jika Bulog ingin mewujudkan “swasembada pangan yang mensejahterakan petani”, maka Bulog perlu menampilkan peran nyata dalam mendongkrak pendapatan para petani.
Salah satu peran strategis yang dapat digarap Bulog untuk meningkatkan penghasilan petani adalah dengan menjadikan Bulog sebagai “offtaker” yang membeli gabah, beras dan bahan pangan lain yang dihasilkan petani. Bulog tentu memiliki kemampuan untuk membeli gabah/beras petani dengan harga wajar. Artinya, kelemahan tawar menawar petani dalam penetapan harga jual, akan dapat diintervensi oleh harga wajar yang ditetapkan Bulog.
Selain itu harga yang ditetapkan Bulog, biasanya akan dijadikan acuan para bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha dalam mematok harga pembelian mereka dari petani. Sebagai lembaga otonom Pemerintah, Bulog pasti tahu persis berapa harga gabah/beras di tingkat petani yang dapat mensejahterakan dan memakmurkan para petani.
Selanjutnya, Bulog dapat juga berperan secara aktif dalam penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras. Bulog dapat memberi usulan konkrit terkait kepantasan harga gabah dan beras yang selama ini dirasakan petani. HPP Gabah dan Beras sendiri ingin mengakomodir kepentingan petani selaku produsen dan kepentingan masyarakat selaku konsumen.
Kalau kita tengok kondisi obyektif dunia pergabahan dan perberasan ysng tengah terjadi, ternyata ada perbedaan “kepemilikan” antara gabah dan beras. Sebagian besar petani padi, khususnya petani berlahan sempit atau sama sekali tidak memiliki lahan pertanian (petani gurem dan petani buruh, dalam mengelola usahatani padinya, mereka akan berujung di gabah kering panen (GKP).
Selebihnya, urusan merubah GKP menjadi Gabah Kering Giling (GKG) atau Beras, sudah bukan urusan petani lagi. Langkah merubah gabah menjadi beras, umumnya akan dilakukan oleh bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha penggilingan. Dengan bahasa lain dapat disampaikan secara umum “gabah miliknya petani sedangkan beras miliknya pedagang”.
Dihadapkan pada suasana demikian, Bulog sesungguhnya mampu memfasilitasi petani agar jangan menjual hasil panennya dalam bentuk gabah tapi dalam bentuk beras. Pertanyaannya apakah Bulog memiliki kerelaan untuk mewujudkan langkah yang cukup mulia ini ? Sebab, jika petani dapat menjual hasil akhirnya dalam bentuk beras, maka nilai tambah ekonomi yang diperoleh petani tentu bakal semakin tinggi.
Teknis pelaksanaannya, petani yang tergabung dalam Gapoktan, diharapkan mampu membuat kesepakatan dengan Bulog untuk memproses perubahan gabah menjadi beras. Dalam kesepakatan tersebut, sebaiknya ditegaskan Bulog akan membeli beras petani dengan harga yang wajar dan memberi keuntungan optimal bagi petani.
Akhirnya penting untuk disampaikan, menjadikan Bulog sebagai pelindung dan pembela kaum tani, khususnya dalam memperoleh harga jual yang wajar, memang membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas. Sebagai sahabat sejati petani, Bulog perlu habis-habisan menunjukkan kecintaannya kepada petani. Kita optimis “Bulog Baru” akan mampu newujudkannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).