FusilatNews – Di tanah Pasundan yang konon kental dengan nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal, ironi sering kali bersembunyi di balik jubah kesalehan. Kasus penyaluran dana hibah ke pesantren di Jawa Barat kembali mencuat ke permukaan, menyeret satu nama yang pernah duduk di kursi kekuasaan: Uu Ruzhanul Ulum, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat. Yayasan yang terafiliasi dengannya, Perguruan Al-Ruzhan di Tasikmalaya, disebut-sebut menerima gelontoran dana hibah hingga Rp 45 miliar dalam lima tahun terakhir.
Angka yang mencengangkan jika dibandingkan dengan nasib ratusan pesantren kecil yang tersebar dari Cianjur hingga Cirebon. Banyak dari mereka hidup nyaris tanpa sentuhan bantuan negara. Sementara satu lembaga dapat mendirikan gedung megah dengan sistem MEP (mekanikal, elektrikal, dan plumbing) layaknya kampus swasta modern, ada ribuan santri yang masih mengaji di saung bilik bambu beratap seng karatan.
Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi, layak mendapat catatan tersendiri. Di tengah gelombang kritik dan potensi benturan dengan elite lama, Dedi justru memilih jalan terjal: mengevaluasi ulang penyaluran dana hibah yang disebutnya sarat nepotisme dan kedekatan politik. Langkah ini bukan tanpa risiko, sebab ia membuka lembaran dosa lama birokrasi yang telah menjadikan agama sebagai tameng kepentingan pribadi.
Pertanyaannya, sejak kapan memuliakan agama boleh dilakukan dengan cara-cara tidak mulia?
Hibah negara kepada lembaga pendidikan agama bukanlah sebuah kemurahan, melainkan amanat konstitusional untuk memastikan akses pendidikan setara bagi semua. Tapi ketika uang rakyat hanya mengalir ke kantong segelintir yayasan yang “dekat” dengan kekuasaan, di situlah agama kehilangan kehormatannya.
Jabar memang sering tampil menonjol dalam peta politik nasional sebagai lumbung suara Islam. Tapi jika praktiknya justru memperlihatkan keberpihakan pada jaringan politik, bukan pada prinsip keadilan sosial, maka kita sedang melihat kemunduran peradaban dalam balutan serban dan sorban.
Kepala Biro Kesra Setda Jabar, Andrie Kustria Wardana, bahkan tak menampik keterkaitan lembaga yang menerima hibah dengan keluarga besar sang mantan wakil gubernur. Tahun demi tahun, anggaran mengalir nyaris tanpa hambatan. Tak ada audit menyeluruh yang dapat diakses publik. Tak ada laporan pertanggungjawaban yang transparan. Yang ada hanyalah satu pola yang terus diulang: kekuasaan memberi, kekuasaan pula yang menerima.
Dalam kondisi seperti ini, langkah Gubernur Dedi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan sebuah koreksi moral terhadap cara negara memperlakukan lembaga keagamaan. Bahwa pesantren bukanlah ladang proyek, dan dakwah tidak seharusnya disubsidi oleh relasi kuasa.
Agama, jika ingin tetap dihormati dalam ruang publik, harus dirawat oleh tangan yang bersih. Bukan hanya dari korupsi, tetapi juga dari manipulasi.
Dan kepada mereka yang pernah menduduki jabatan publik dan kini memanfaatkan pengaruhnya untuk mengamankan aliran dana bagi lembaga yang dekat dengan keluarganya—barangkali perlu merenung sejenak. Apakah mereka benar-benar sedang membangun peradaban Islam, atau hanya sedang memperluas kerajaan pribadi atas nama Tuhan?
Di bumi Parahyangan, agama bukan sekadar ibadah, tapi juga nilai-nilai yang membentuk watak masyarakat. Jika nilai itu dijual dengan harga proyek, jangan salahkan rakyat jika suatu hari nanti mereka kehilangan kepercayaan pada institusi keagamaan.
Memuliakan agama, sejatinya, harus dilakukan dengan cara yang mulia. Bukan dengan proyek, bukan dengan afiliasi politik. Tetapi dengan keadilan.