Jakarta – Fusilatnews – Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, dan 115/PUU-XXII/2024 yang diucapkan dalam sidang Selasa (29/4/2025).menciptakan angin segar dalam kebebasan berpendapat
Dalam putusan 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan aktivis lingkungan hidup Daniel Frits Tangkilisan, MK menegaskan dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) bertentangan dengan UUD Negara Tahun 1945.
Serang kehormatan pemerintah-korporasi via medsos tak dipidana
Dua pasal yang diputus MK yakni Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) yang mengandung frasa “orang lain” hanya berlaku untuk individu. Adapun pasal 27A berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.”
Sedangkan Pasal 45 ayat (4) berisi tentang hukuman pidana untuk pelaku Pasal 27A dengan pidana 2 tahun atau denda Rp 400 juta.
“Menyatakan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo dalam persidangan.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintahan, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan,” imbuh dia.
Selain itu, putusan yang dibacakan Suhartoyo juga menegaskan frasa pendistribusian informasi elektronik yang bersifat menghasut harus dimaknai secara substantif memuat tindakkan penyebaran kebencian berdasarkan identitas tertentu yang menimbulkan risiko diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.
Pemohon gugatan, Daniel, merupakan aktivis lingkungan yang pernah dikriminalisasi karena mengkritik pencemaran lingkungan tambak udang di Karimunjawa.
Dia sempat divonis tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jepara, kemudian dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.
Kerusuhan di ruang siber tak masuk delik pidana
Selain putusan 105/PUU-XXII/2024, MK juga membacakan putusan terkait gugatan UU ITE dengan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024).
Putusan itu memberikan penegasan kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat (3) tidak lagi berlaku untuk ruang siber atau digital.
Mereka yang berdebat di sosial media dan keributan yang terjadi di kolom komentar tak bisa menjadi aduan delik pidana untuk UU ITE.
“Menyatakan kata ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo, Selasa.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,'” ujar dia melanjutkan
Hakim MK Arsul Sani mengatakan, MK menilai bentuk kerusuhan atau keonaran dalam UU ITE tidak ada parameternya yang jelas.
Oleh karena itu, MK kemudian menyebut kata “kerusuhan” dalam norma Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan’ adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,” kata Arsul Sani.
Selain itu, bentuk kerusuhan dan keonaran di ruang siber juga tidak relevan dengan perkembangan zaman di saat teknologi berkembang pesat.
Saat ini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.
“Sehingga dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, seyogianya disikapi sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik dan bukan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran yang dapat dikenakan proses pidana oleh aparat penegak hukum,” kata Arsul.
Agar aparat tak sewenang-wenang
Pada perkara 105/PUU-XXII/2025, dalam salah satu pertimbangannya,
Mahkamah Konstitusi menegaskan makna frasa “orang lain” di Pasal 27A dan 45 ayat (4) sebagai bentuk memberikan kepastian hukum.
Hakim MK Arief Hidayat mengatakan, MK perlu memberikan penafsiran tetap terkait frasa “orang lain” dalam delik tersebut sebagai orang atau individu, bukan lembaga, kelompok orang, atau korporasi.
Menurut Mahkamah, tidak masuk akal ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang diberlakukan dengan menggunakan ketentuan pasal UU ITE yang digugat tersebut.
“Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU 1/2024, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan,” ucap Arief.
Pada perkara 105/PUU-XXII/2025, dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan makna frasa “orang lain” di Pasal 27A dan 45 ayat (4) sebagai bentuk memberikan kepastian hukum.
Hakim MK Arief Hidayat mengatakan, MK perlu memberikan penafsiran tetap terkait frasa “orang lain” dalam delik tersebut sebagai orang atau individu, bukan lembaga, kelompok orang, atau korporasi.
Menurut Mahkamah, tidak masuk akal ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang diberlakukan dengan menggunakan ketentuan pasal UU ITE yang digugat tersebut.
“Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU 1/2024, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan,” ucap Arief.
Atas dasar pertimbangan tersebut, MK akhirnya memutuskan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Angin segar untuk kebebasan berpendapat
Pihak Daniel selaku pemohon gugatan UU ITE ini menilai putusan MK tersebut dapat mendukung kebebasan berpendapat.
“Secara umum, MK memberikan angin segar buat kebebasan berpendapat. MK memberikan angin segar untuk kritik, karena memang demokrasi hanya bisa tumbuh kalau ada kritik,” kata kuasa hukum Daniel Frits Maurits Tangklisan, Todung Mulya Lubis usai menghadiri sidang pengucapan putusan.
Todung mengatakan, putusan MK ini juga menegaskan seluruh tata kelola organisasi, baik pemerintah maupun korporasi, tak seharusnya resisten dengan kritik.
Dengan putusan MK untuk perkara nomor 105/PUU-XXII/2024 ini, Todung berharap UU ITE tak bisa lagi digunakan untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah.
Meski demikian, Todung menilai putusan ini masih memberikan kesempatan kepada tokoh publik untuk menggunakan Pasal 27A dan 45 ayat (4) untuk menjerat seseorang ke ranah pidana.
“Jadi tokoh publik itu masih bisa membuat aduan terhadap apa yang disebut pencemaran nama baik atau berita bohong atau apa menyerang kehormatan. Menurut saya itu yang agak absen dari putusan MK,” tuturnya