Oleh : Abd.Murhan, R.SE.
Sejak dulu, Jakarta, atau Betawi, dikenal sebagai daerah yang subur dengan banyak tumbuhan hijau dan aliran sungai yang melimpah. Lahan ini membantu masyarakatnya hidup dengan nyaman dan sejahtera. Selain itu, masyarakat Jakarta yang heterogen selalu menjaga kebersamaan dalam berbagai kepentingan.
Betawi adalah daerah yang beragam dengan penduduk yang memiliki berbagai kepentingan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Populasi terbesar di Jakarta adalah pemeluk agama Islam yang hidup berdampingan dengan masyarakat dari agama lain hingga saat ini.
Jakarta, yang lahir pada 22 Juni 1527, telah berkembang dengan berbagai catatan sejarah. Daerah ini subur dan diperkuat oleh keberadaan pelabuhan seperti Sunda Kelapa hingga Tanjung Priok yang mendukung aktivitas warganya yang heterogen. Dari zaman ke zaman, daerah ini perlahan dibangun sebagai tempat hunian dan tempat berdirinya bangunan berarsitektur Belanda yang digunakan sebagai kantor, hotel, dan lain-lain.
Bangsa asing yang membangun daerah ini melihat prospek ke depan dan menyesuaikan pembangunan dengan kondisi setempat agar tidak merusak lingkungan dan tetap nyaman untuk dihuni. Bangunan dirancang untuk menyesuaikan dengan lonjakan pertumbuhan masyarakat dan aktivitasnya. Perencanaan pembangunan saat itu sangat teliti demi keseimbangan pertumbuhan berbagai sektor di kemudian hari.
Pembangunan pada masa pemerintahan Belanda berfokus pada pengendalian tata ruang yang berskala panjang supaya tidak sia-sia di masa depan. Pembangunan tidak merusak alam dan berfungsi untuk selamanya. Bangsa Belanda mencanangkan pembangunan yang menyelamatkan alam dan makhluknya.
Di negara Belanda yang sempit, lahan daratannya dioptimalkan sehingga terlihat luas dan nyaman untuk dihuni. Mereka memanfaatkan wilayah lautan dengan arsitektur bendungan laut yang terhandal di dunia.
Namun, pembangunan di Jakarta seringkali dilakukan tanpa analisis peran dan fungsi bangunan yang memadai. Akibatnya, bangunan yang padat menyebabkan ketidakseimbangan alam dan membuat jalanan semrawut. Potret Jakarta yang metropolis namun rusak tata lingkungannya perlu diperhatikan.
Saat ini, Jakarta perlu ditata ulang dari bangunan liar yang merusak lingkungan alam. Pembangunan gedung pencakar langit harus dihentikan karena lebih banyak merusak alam akibat beban dan pancaran sinar kaca yang merusak ozon. Bangunan tidak perlu tinggi karena berbahaya dalam jangka pendek hingga jangka panjang.
Pemimpin Jakarta ke depan harus lebih mengutamakan pembangunan yang mengikuti sistem pemerintahan Belanda sejak dahulu kala. Menanti Pilgub Jakarta pada tahun 2024, gubernur yang dipilih haruslah orang yang haus perubahan untuk merombak Jakarta dari kesemrawutan.
Jakarta yang luas kini terasa sempit karena pembangunan asal jadi dari zaman ke zaman. Negeri Belanda yang sempit daratannya terasa luas karena dirancang dengan baik sehingga faktor alam dan makhluknya serasi sampai saat ini. Semoga Jakarta kembali menjadi provinsi yang dibangun lebih baik seiring dengan perpindahan ibu kota negara ke Penajam Paser, Kalimantan.