Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Maka hanya ada satu kata: gila!
Dan kegilaan itu adalah ide mewajibkan semua kendaraan bermotor di Indonesia ikut asuransi “third party liability” (TPL) mulai 1 Januari 2025.
TPL adalah produk asuransi yang memberikan ganti rugi kepada pihak ketiga yang secara langsung disebabkan oleh kendaraan bermotor yang dipertanggungkan, sebagai akibat risiko yang dijamin di dalam polis.
Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) No 6/SEOJK.05/2017, seperti dilansir sebuah media, tarif premi asuransi atau rate asuransi mobil “All Risk” ditentukan berdasarkan berbagai faktor, termasuk jenis kendaraan, usia kendaraan, dan area operasional kendaraan.
Rate asuransi OJK untuk kendaraan pribadi dan mobil penumpang berkisar antara 2,0% hingga 3,5% dari nilai kendaraan.
Maka bisa dibayangkan betapa besar keuntungan yang diterima perusahaan asuransi jika aturan yang mewajibkan semua kendaraan bermotor ikut asuransi diberlakukan.
Betapa banyak pula “kick back” atau “fee” (komisi) dari perusahaan asuransi yang patut diduga diberikan kepada OJK atau “stakeholders” (para pemangku kepentingan) lainnya, termasuk dalam meloloskan undang-undang.
Pun, siapa pemegang saham perusahaan asuransi yang hendak dilibatkan, sudah terbayang betapa besar keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Di pihak lain, rakyat bertambah megap-megap, terutama yang punya kendaraan bermotor.
Dus, ternyata benar apa kata Bung Karno: lebih mudah menghadapi bangsa penjajah daripada menghadapi bangsa sendiri.
Contohnya, kini rakyat Indonesia lebih sulit menghadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo daripada menghadapi bangsa lain. Menghadapi kolonial lebih mudah daripada menghadapi oligarki.
Dan, bagian dari pemerintahan Jokowi adalah OJK yang menggulirkan ide gila seperti tersebut di atas.
Saat ini, kata OJK, asuransi kendaraan masih bersifat sularela. Namun per 1 Januari 2025, akan diubah menjadi wajib.
Perubahan dari sukarela menjadi wajib tersebut, klaim OJK, merupakan konsekuensi dari berlakunya Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). OJK mengaku sedang membuat aturan turunannya.
Sebelum ini, pemerintah sudah meluncurkan UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang lebih banyak menindas buruh di satu pihak dan menguntungkan pengusaha di lain pihak.
Pemerintah juga sudah meluncurkan UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 29 Oktober 2021 lalu oleh Presiden Jokowi. Dengan UU itu maka Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12% dan akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Pemerintah juga meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola (BP) Tapera. Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji.
Mengapa rakyat yang selalu ditindas pemerintah dengan dibebani kewajiban ini-itu?
Mengapa pemerintah hanya pandai menarik pajak rakyat di satu sisi dan menarik utang luar negeri di sisi lain untuk membiayai pembangunan?
Total utang pemerintah Indonesia per 30 April 2024 mencapai Rp8.338,43 triliun. Sejak periode kedua Jokowi menjabat, total utang itu telah bertambah sekitar Rp3.551,85 triliun, sebab posisi utang terakhir pada 2019 mencapai Rp4.786,58 triliun.
Mengapa pemerintah tidak bisa mendayagunakan sumber daya alam yang berlimpah baik di dalam bumi, di dalam air, maupun di udara?
Mengapa pemerintah justru membiarkan sumber daya alam Indonesia dijarah orang asing dan negara lain? Sementara angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi.
Saat ini jumlah orang miskin ekstrem di Indonesia mencapai sekitar 6 juta orang, sedangkan populasi orang miskin masih 26 juta orang atau 9,36%.
Bahkan tenaga kerja asing dari Tiongkok, termasuk tenaga kasar, membanjiri Tanah Air, sementara jumlah pengangguran di Indonesia masih berlimpah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai hampir 7,2 juta orang pada Februari 2024.
Mengapa pula pemerintah tidak mendayagunakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengatasi kondisi keuangannya yang terus memburuk?
Ternyata BUMN juga banyak yang merugi. Dari total 41 BUMN, ada 9 BUMN yang masih merugi.
Rakyat sudah menolak UU Cipta Kerja. Namun apalah daya, pemerintah yang dikuasai oligarki bergeming.
Rakyat juga sudah menolak kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Namun apalah daya, pemerintah yang dikuasai oligarki bergeming.
Rakyat juga sudah menolak Tapera. Tapi apalah daya, pemerintah yang dikuasai oligarki hanya menundanya, tidak membatalkannya.
Apakah rakyat juga akan menolak wajib asuransi kendaraan bermotor? Mestinya demikian.
Maka hanya ada satu kata: tolak!