Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Inilah hasil survei terbaru tentang demokrasi di negara-negara Arab: mereka ogah dengan demokrasi! Orang-orang Arab di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tak percaya lagi demokrasi membawa kesejahteraan dan kestabilitasan ekonomi.
Survei dilakukan the Arab Barometer melalui kemitraan Universitas Princeton, AS dan sejumlah perguruan tinggi serta lembaga survei di Timur Tengah dan Afrika Utara. Jajak pendapat berlangsung dari akhir 2021 hingga musim semi (Juni) 2022.
Menyertakan sekitar 23 ribu responden Arab — Yordania, Lebanon, Mesir, Tunisia, Mauritania, Maroko, Sudan, Irak, Libya, dan wilayah Palestina (Tepi Barat dan Gaza). Iran, Israel, dan Turki tak masuk jajak pendapat. Mereka bukan Arab. Begitu pula negara monarki Teluk.
Metode yang digunakan dengan tatap muka/wawancara. Mayoritas responden sepakat, ekonomi negara lebih buruk pada masa demokrasi. Ini alasan mereka ogah dengan demokrasi.
Hasil ini tentu aneh karena terjadi hanya sekitar 10 tahun setelah revolusi rakyat Arab (the Arab Spring) yang menuntut perubahan politik lebih demokratis, dengan menggulingkan rezim diktator-otoriter.
Responden yang mengungkapkan demokrasi tak membawa kesejahteraan, cukup tinggi. Di Irak berkisar 72 persen, Tunisia 70 persen, wilayah Palestina 62 persen, Libya 60 persen, Yordania 55 persen, Lebanon 52 persen, Sudan 50 persen, dan Maroko 47 persen.
Bagi mayoritas responden, ekonomi dipandang paling mendesak untuk dicarikan solusi, berikutnya korupsi, ketidakstabilan politik-keamanan, dan penyebaran Covid-19. Hanya di dua negara, sektor ekonomi tak dianggap masalah terpenting.
Irak, tempat korupsi masalah utamanya dan Libya yang dilanda konflik, menyebabkan ketidakstabilan politik dan keamanan. Berbanding lurus dengan ketidakpercayaan mayoritas responden pada demokrasi, mereka justru merindukan pemimpin kuat.
Arab Barometer menyebutnya ‘pemimpin yang dapat memodifikasi aturan jika perlu untuk menyelesaikan sesuatu’. Tak jelas apakah pemimpin kuat itu, seperti Presiden Mesir Jenderal (purn) Abdul Fattah Sisi atau Presiden Tunisia Kais Saied.
Yang pasti, delapan dari 10 warga Tunisia setuju dengan pandangan tadi. Bahkan, sembilan dari 10 orang Tunisia mendukung keputusan Saied membubarkan pemerintah dan menangguhkan parlemen pada Juli 2021.
Keputusan yang dikecam lawan politiknya sebagai kudeta, tetapi Saied mengatakan, tindakannya untuk mereformasi rezim politik korup. Sejak revolusi Arab, Tunisia satu-satunya yang mampu membentuk pemerintahan demokratis yang permanen.
Namun, negara berpenduduk sekira 12 juta itu di bawah Saied dinilai banyak pihak mengalami kemunduran demokrasi. Apalagi, ketika dia meluncurkan referendum konstitusi baru, yang dinilai justru memperkuat presiden sekaligus memperlemah demokrasi.
Pada waktu bersamaan, ekonomi Tunisia jatuh dalam krisis. Sebagian besar warga berpandangan perekonomian belum akan membaik dalam beberapa tahun ke depan, hingga kondisi politik-keamanan stabil. Antara lain, dengan munculnya orang kuat di negara mereka.
Menurut Amani Jamal, salah seorang pendiri Arab Baromater dan dekan the Princeton School of Public and International Affairs, sayangnya, Tunisia kembali ke otoritarianisme atau disebut kemunduran demokrasi.
Lepas dari hasil survei Arab Barometer, AS — yang dianggap kampiun demokrasi — menganggap hampir seluruh Arab belum menerapkan demokrasi. Hanya satu yang dianggap demokratis, yaitu Irak.
Ini terlihat misalnya, Irak satu-satunya negara Arab yang diundang Presiden AS Joe Biden berpartisipasi dalam KTT tentang demokrasi pada 9-10 Desember tahun lalu. Demokrasi Irak sejatinya ciptaan Amerika. Prosesnya dimulai pada 2003 ketika AS menginvasi Irak.
Lalu, dibuat konstitusi baru, saat itu, dinyatakan akan mendatangkan demokrasi dan berarti kenyamanan serta kesejahteraan, yang tak bisa dinikmati selama rezim Presiden Saddam Husein. Sayangnya, yang kita saksikan Irak sekarang ini, tak ada ketenangan apalagi kesejahteraan.
Sebelum invasi militer AS, Irak adalah satu. Tak ada pembicaraan tentang Kurdi di Irak Utara, Suni di Tengah, atau Syiah di Selatan. Juga tidak ada penjatahan presiden dari suku mana, ketua parlemen dari sekte apa, perdana menteri berikut menteri dari kelompok mana.
Yang menarik dari 22 negara Arab — berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa — justru negara monarki relatif lebih aman dan sejahtera. Delapan negara berbentuk monarki, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain, Yordania, dan Maroko.
Mereka dipilih oleh keluarga dalam lingkungan istana. Sedangkan rakyat hanya menerima tanpa bertanya, berbaiat. Namun, suksesi model monarki ini justru mulus. Ekonomi atau kesejahteraan di negara Arab monarki lebih baik daripada negara Arab republik.
Intinya, seperti disitir sejumlah pengamat, demokrasi ala Barat kurang atau bahkan tak cocok. Demokrasi seperti itu justru sering mendatangkan malapetaka. Negara Arab butuh sosok kepemimpinan kuat, yang di negara monarki tampak pada raja, sultan, atau emir.
Dikutip dari Republika.co.id, Senin 8 Agustus 2022.