RAMADHAN diimani sebagai bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Salah satu rukun Islam ini hadir di setiap tahun dan diyakini sebagai bulan penuh berkah, pengampunan dan juga rahmat bagi seluruh umat Islam. Kalau kita kaitkan pada dalil Al Quran (QS. Al-Baqarah 183), tujuan besar dari puasa Ramadhan adalah agar setiap muslim mencapai kadar bertakwa pada Allah Azza wajalla. Dalam tulisan ini saya mencoba menawarkan cara pandang tentang bagaimana sesungguhnya memaknai puasa Ramadhan dengan mensublimasi pemahaman-pemahaman spiritual dari hikmah puasa itu sendiri. Misalnya saja, Ramadhan sebagai bulan penyucian jiwa (tazkiyat al nafs).
Bentuk konkretnya penyujian jiwa dalam kehidupan sehari-harinya bagaimana? Disadari atau tidak, ada banyak muslim yang memahami peningkatan ibadah di bulan Ramadhan hanya dengan meningkatkan ibadah ubudiyah saja, berdzikir, dan berbagai rutinitas lainnya. Jika kita merujuk peristiwa istimewa apa saja yang ada di bulan Ramadhan, berbagai dalil Quran, hadist, dan literatur telah menyediakan. Mulai peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadar, menangnya muslim dalam Perang Badar, pembebasan Makkah (fatkhul Makkah), dan masih banyak yang lainnya. Peristiwa penting inilah yang sepertinya setiap tahun akan menjadi diskursus dan materi para penceramah.
Pertanyaanya, kemudian bagaimana seharusnya memaknai bulan agung umat Islam ini dalam konteks kehidupan sehari-hari? Baik sebagai masyarakat, warga negara, dan umat manusia. Saya membayangkan, jika setiap umat Islam dapat mengimplementasikan tujuan takwa puasa dengan tindakan hidup yang nyata, maka berbagai tujuan baik keberadaan agama akan benar-benar menjadi instrumen penting dalam membangun peradaban manusia. Kalau ditarik pada hal yang matematis, di Indonesia saja ada 86,9 persen dari total populasi Indonesia (237,57 juta jiwa) yang jelas beragama Islam. Di sisi lain, umat Islam di dunia pun juga sangat besar, ada 1,2 miliar orang disebutkan sebagai pemeluk Islam. Secara kuantitatif, jika target besar takwa sebagai tujuan puasa ini benar-benar dikejar oleh setiap umat Islam, maka ruang kemanfaatan yang diciptakan pasti akan sangat fenomenal.
Puasa dan kehidupan nyata
Dalam dua tahun terakhir ini, seluruh masyarakat Indonesia menghadapi kesulitan yang berkepanjangan. Tidak sedikit pelaku UMKM yang gulung tikar, angka kemiskinan meningkat signifikan, kematian akibat pandemi Covid-19 juga angkanya mencengangkan, dan banyak potret problematika kehidupan sosial masyarakat terjadi di sekitar kita. Dalam konteks ini, saya membayangkan puasa bulan Ramadhan ini harus menjadi momentum untuk berlomba-lomba dalam mensublimasi nilai puasa di kehidupan sehari-hari. Terkadang kita terbiasa hanya memperdebatkan agama dan pemahaman keagamaan semata, hingga lupa bahwa agama itu hadir untuk berbagai tujuan mulia.
Agama sejatinya hadir untuk membebaskan manusia dari keterpurukan, penindasan, kemiskinan, dan tindakan yang menjauh dari nilai kemanusiaan. Dengan tulisan yang saya buat ini, harapan besarnya adalah umat Islam bisa menjadi pioneer penting dalam membangun kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terminologi Muhammadiyah, umat yang berkemajuan. Tidak usah menerjemahkan agama dengan berbagai tindakan hidup yang di luar jangkauan kita. Nilai dan hikmah puasa sudah sepatutnya diorkestrasikan dalam bentuk membantu masyarakat yang lebih lemah (mustad’afin), menjadi penyelenggara negara yang tidak korupsi, jadi pengusaha jujur, menjadi aktivis negarawan, dan manusia yang senantiasa menjunjung tinggi nilai kenegarawan.
Mereka manusia yang tidak tunduk pada kondisi sulit yang menimpa dirinya. Secara gamblang, memahami ibadah puasa Ramadhan tidak hanya sekadar iktikaf di masjid, atau membaca Al Quran semata. Tantangan paling konkretnya adalah bagaimana menghidupkan Al Quran dengan menerapkan ajaran kehidupan dari ayat-ayat suci Al-Quran itu sendiri. Kebiasan i’ikaf sebagai upaya mendekatkan diri pada Allah azza wajalla diterapkan dengan memperbanyak amal baik di sekitar kita.
Puasa dan melawan ketertinggalan
Cara pandang penting dalam memahami puasa Ramadhan adalah bagaimana keberadaaan kita mampu menghadirkan sifat anti-ketertinggalan. Secara angka statistik, umat Islam di dunia yang saya ungkap di awal. Bahwa 1,2 miliar muslim di dunia benar-benar mewujud sebagai umat yang Islami. Manusia Islam yang memiliki kesadaran untuk senantiasa melawan kemiskinan, berkomitmen selalu ingin maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih penting lagi adalah membersihkan kehidupan warga bangsa dari segala bentuk tindak kekerasan. Sampai saat ini ada banyak isu di muka bumi ini yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.
Misalnya saja, ancaman ketahanan pangan, masalah perubahan iklim, kekerasan yang terjadi di Palestina, Perang Rusia Ukraina, dan masih banyak masalah kompleks lainnya. Sebagai umat Islam yang secara statistik nomor dua di dunia setelah Kristen, saya kira menjadi penting membawa isu beragama Islam dan juga meningkatkan ibadah di bulan puasa ke dalam sikap hidup yang peduli pada masalah-masalah kemanusian yang saya sebutkan tadi. Betapa indahnya pemandangan Islam yang dihadirkan dalam tindakan hidup nyata. Saya meyakini, jika komitmen ibadah puasa Ramadhan itu disublimasikan dalam tindakan hidup yang betul-betul nyata, prediksi angka orang Islam melampaui umat Kristen di 2050 bisa diperpendek. Mengapa? Karena umat manusia di muka bumi ini tersadarkan bahwa Islam bukanlah ajaran agama yang dogmatis dan menjauh dari masalah muamalah keseharian. Islam akan dikenal sebagai agama yang menginspirasi umat manusia dengan sikap hidup universal. Sarat dengan kejujuran, anti kebodohan, anti kemiskinan, dan menjunjung tinggi nilai universalitas. Manusia yang bertakwa tidak hanya di mata Allah tetapi bisa dirasakan oleh manusia di sekitarnya. Wallahu’alam
Oleh : Sunanto, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah