Dalam dinamika politik yang bersifat “competitive pluralism”, setiap partai politik harus terus berkompetisi secara sehat, bukan hanya menjadi bagian dari kekuasaan yang sedang berjalan.
Pernyataan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait keinginannya untuk tetap menjadi bagian dari pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto memunculkan kebingungan dan pertanyaan. Di tengah pergulatan politik antara Partai Demokrat dan Gerindra—yang notabene adalah partai yang bersaing—pernyataan AHY justru mengesankan sebuah inkonsistensi. Pernyataan bahwa ia ingin menjadi “bagian yang tak terpisahkan” dalam pemerintahan Prabowo patut dipertanyakan dari segi posisi dan tanggung jawabnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Apakah AHY mengaburkan peran fundamentalnya sebagai pemimpin partai yang harus bersikap oposisi atau kritis terhadap kekuasaan lain?
Dalam politik modern, dikenal konsep “adversarial democracy” atau demokrasi konfrontatif, di mana peran utama partai-partai politik adalah untuk bersaing dalam merebut simpati dan dukungan rakyat. Kompetisi ini merupakan elemen esensial dalam sistem demokrasi, di mana setiap partai politik harus tetap menjaga integritasnya sebagai oposisi atau bagian dari koalisi sesuai dengan kepentingan strategis jangka panjangnya. AHY, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, seharusnya memegang teguh prinsip ini, di mana partainya tetap berada dalam posisi yang kompetitif, bukan sekadar menempel pada kekuasaan.
Kehendak AHY untuk menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo secara permanen dapat dinilai sebagai kesalahan strategis. Pertama, hal ini menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola dualitas perannya sebagai pemimpin partai dan sebagai pejabat di kabinet. “Conflict of interest”, atau konflik kepentingan, menjadi isu yang tak terhindarkan di sini. Di satu sisi, AHY harus memperjuangkan kepentingan Partai Demokrat yang notabene bersaing dengan Partai Gerindra, namun di sisi lain, ia menginginkan peran dalam pemerintahan yang secara langsung menguntungkan Gerindra.
Ketika seorang pemimpin partai gagal menjaga batas tegas antara partai dan pemerintah, “role ambiguity” atau ketidakjelasan peran menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Sebagai pemimpin Partai Demokrat, AHY seharusnya mengedepankan kepentingan partainya, memfokuskan strategi pada penguatan suara dan posisi partainya di kancah politik, terutama di parlemen. Partai Demokrat dan Gerindra, secara prinsip, adalah rival politik. Mereka yang terikat oleh kepentingan koalisi sementara seharusnya tetap sadar bahwa persaingan politik dalam merebut hati rakyat adalah yang utama.
Bila kita merujuk pada teori politik klasik “zero-sum game”, situasi politik adalah sebuah kompetisi di mana satu pihak akan menang sementara pihak lain kalah. Dalam konteks ini, Partai Demokrat dan Gerindra pada akhirnya bersaing untuk mendapatkan dominasi di panggung politik nasional. Pernyataan AHY yang mengesankan seolah-olah ia bersedia menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintahan Prabowo seakan menunjukkan pengabaian terhadap realitas ini, yang sebenarnya sangat penting dalam menentukan arah kebijakan partainya di masa depan.
Sebagai pemimpin partai, AHY juga harus mengingat bahwa masa depan Partai Demokrat sangat tergantung pada kinerjanya dalam membentuk narasi oposisi yang kuat. Dalam politik, dikenal istilah “political survival”, yang menekankan pentingnya kelangsungan hidup politik suatu partai melalui strategi yang jelas dan taktis. Dengan menunjukkan keinginan untuk bergabung tanpa batas dengan pemerintahan Prabowo, AHY justru melemahkan daya saing partainya, mengaburkan peran Demokrat sebagai oposisi yang kredibel, dan pada akhirnya bisa merugikan partainya sendiri.
Sikap AHY ini juga bisa dilihat sebagai tanda kegagalan dalam meningkatkan perolehan kursi Demokrat di Senayan. Dalam politik, seorang ketua partai tidak hanya berfungsi sebagai pengambil keputusan tetapi juga sebagai simbol perjuangan partainya. Jika AHY terlalu fokus pada peran individualnya di pemerintahan, ia berisiko mengabaikan tugas utamanya: memperjuangkan kepentingan partai dan rakyat yang diwakilinya. Hal ini bisa menyebabkan “electoral erosion”, yaitu penurunan dukungan elektoral akibat kurangnya fokus dalam strategi jangka panjang.
Kesimpulannya, pernyataan AHY yang ingin menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintahan Prabowo menunjukkan adanya kesalahan fundamental dalam memahami perannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dalam dinamika politik yang bersifat “competitive pluralism”, setiap partai politik harus terus berkompetisi secara sehat, bukan hanya menjadi bagian dari kekuasaan yang sedang berjalan. Dengan mengaburkan batasan antara loyalitas partai dan pemerintah, AHY berisiko menjadikan Partai Demokrat kehilangan arah strategisnya, dan pada akhirnya bisa merusak posisinya di panggung politik nasional.