Gusdur tidak bisa membaca, tapi ia mau mendengar. SBY kutu buku, tapi ia tak mau membaca. Saya maklum kalau Jokowi tidak merespon, karena memang Ia tidak suka membaca
Pertama kali saya mengirim surat kepada seorang Presiden adalah kepada Gusdur. Niat mengirim surat saat itu ingin turut memberi masukan. Ketika Gusdur membubarkan Departemen Penerangan RI, hebohnya luar biasa saat itu. Pro dan kontra terjadi sangat luar biasa. Tetapi esensinya adalah, bahwa control Negara kepada media, harus di akhiri. Itulah yang hampir semua orang suka saat itu. Sehingga pembubaran Deppen RI sukses. Waktu itu kemudian timbul Persoalan. Iyalah bagaimana dengan nasib para pejabat dan karyawan Deppen RI. Lalu ada upaya untuk mengusulkan pembentukan lembaga baru. Diusulkanlah Lembaga baru itu yang kemudian berubah menjadi PIN (Pusat Informasi Nasional).
Saya menela’ah Keppres Pembentukan lembaga tersebut. Betapa terkejutnya memahami itu. Dalam pikiran saya, mungkin Gusdur tidak tahu, apa yang dia teken/bentuk. Karena Lembaga baru yang disusulkan kepada Gusdur itu, sama saja dengan Deppen RI yang lalu. Struktur organisasnya, minatur dari Deppen RI yang lalu tsb.
Lalu Kulayangkanlah suratku itu. Isinya saya jelaskan, menyayangkan lembaga yang baru dibentuk Gusdur itu adalah kata lain dari miniatur Departemen Penerangan RI yang lama.
Tidak lama setelah itu, saya menerima surat balasan dari Presiden. Isinya, berterima kasih atas kuriman suratnya. Dijelasakan bahwa surat saya telah disampaikan kepada Presiden Gusdur. Surat itu, ditanda tangani oleh sekretaris Presiden.
Surat balasan dari sekretaris Presiden Gusdur itu, saya perlihatkan kepada teman saya, yang kebetulan sebagai karyawan di Departemen Penerangan RI. Dia terkejut membaca itu. Lalu berkata kepada saya “pantas lembaga yang sudah di Kepreskan Gusdur, dibatalkan lagi. Padahal sudah ada SK-nya. Ini gara-gara surat ini”, tudingnya.
Surat kedua, saya berkirim kepada Presiden SBY, melalui email via Sekretaris Negara. Adalah soal panggilan SBY kepada istrinya, alm Ibu Ani SBY. Ia sering memanggil dengan julukan “Ibu Negara”. Saya agak heran dengang julukan itu. Jangankan Ibu Negara, Istilah Kepala Negara saja, tidak saya temui dalam pasal-pasal konstitusi sekalipun. Untuk mereka yang faham arti Kepala Negara, maka bisa membedakan peran, fungsi dan tugasnya dengan Presiden. Jadi untuk saya, terusik dan prinsip sekali dengan istilah itu. Apalagi Kepala itu hanya satu. Lha Ibu Negara, jadi apa ya?
Saat Megawati menjabat sebagai Presiden, alm Taufik Kiemas, tidak dipanggil/dijuluji sebagai Bapak Negara, bukan?
Hal yang sama, juga diikuti oleh Presiden Jokowi, menjuluki istrinya sebagai “Ibu Negara” lagi. Saya kirim email lagi kepada Presiden melalui Sekretaris Negara, mempertanyakan dasarnnya apa memberi julukan istrinya sebagai Ibu Negara.
Di Amerika, istri Presiden dipanggil sebagai fisrt lady. Jelas pemaknaannya berbeda. Ia bukan sebagai Ibu Negara. Ia istri Presiden.
Tetapi terlepas dari itu semua, surat kedua email saya itu, tidak pernah dibalasnya oleh lembaga Kepresidenan itu.
Saya juga pernah mengirimkan surat pribadi, kepada SBY beberapa bulan yang lalu. Isinya soal Partai Demokrat. Sekedar memberi masukan saja. Saya kirim melalui surat post tercatat ke alamat Cikeas. Sampai saat ini, saya menunggu balasan, hanya sekedar ingin tahu kalau apakah surat tersebut sudah sampai atay tidak ada.
Tidak berlebihan, kalau ada balasan dari Cikeas, saya akan berbangga hati, karena orang yang saya surati itu adalah orang yang pernah saya dukung, pernah ikut menyumbang dan turut berjuang menjadi tim sukses di Propinsi Jawa Barat sebagai bendahara 4.
Berbeda dengan surat yang telah saya kirimkan kepada Presiden Bill Clinton. Saya tertarik dengan aktifitas dan ingin turut mendukung Program Yayasan yang ia kelola. Dalam hitungan hari, surat balasan itu ada dikirim, dan kemudian rutin saya menerima update aktifitas yayasannya. Bahagia sekaki karena surat itu ada ID Bill Clintonnya