Di berbagai kota besar seperti Solo, Jakarta, Medan, dan beberapa daerah lainnya, mural bertuliskan “Adili Jokowi” mulai bermunculan. Tulisan tersebut bukan sekadar vandalisme biasa, tetapi mencerminkan gejolak sosial dan politik yang semakin tak terbendung. Munculnya mural ini menunjukkan bahwa ada kemarahan yang terakumulasi dari berbagai kelompok masyarakat yang merasa kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Fenomena ini tidak bisa dilihat sebagai aksi sporadis belaka. Justru, mural-mural tersebut merupakan bagian dari ekspresi protes rakyat terhadap berbagai skandal yang mencoreng kredibilitas Jokowi. Sejak Organisasi Jurnalis Investigasi Dunia (OCCRP) menetapkan Jokowi sebagai tokoh terkorup nomor dua di dunia, berbagai dugaan pelanggaran semakin menyeruak ke permukaan. Fakta-fakta terbaru seperti pemagaran laut yang merugikan nelayan, skandal penggusuran di Rempang, sertifikasi hutan yang membuka celah bagi eksploitasi sumber daya alam, serta dugaan korupsi dan nepotisme yang semakin terang-terangan, memperkuat alasan mengapa banyak pihak menginginkan pertanggungjawaban dari sang presiden.
Sejarah mencatat bahwa gerakan mural sebagai bentuk perlawanan bukanlah hal baru. Dalam berbagai rezim otoriter, mural sering kali menjadi simbol ketidakpuasan yang tidak bisa disalurkan melalui jalur demokrasi yang sehat. Di Indonesia sendiri, mural sempat menjadi alat protes di era Orde Baru, di mana ruang kebebasan berpendapat sangat sempit. Kini, di era yang seharusnya lebih demokratis, munculnya mural “Adili Jokowi” menjadi indikasi bahwa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah telah mencapai titik didih.
Alih-alih ditanggapi dengan introspeksi dan koreksi kebijakan, munculnya mural-mural ini justru dihadapi dengan tindakan represif. Aparat dengan sigap menghapus mural dan mencari pelaku yang dianggap mencoreng citra pemerintahan. Namun, penghapusan mural bukanlah solusi terhadap akar permasalahan. Justru, tindakan tersebut semakin membuktikan bahwa pemerintah tidak siap menghadapi kritik, sekaligus mengukuhkan citra otoritarianisme dalam demokrasi yang seharusnya lebih terbuka.
Lebih dari sekadar coretan di tembok, mural “Adili Jokowi” adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap kebijakan yang dinilai merugikan dan penuh dengan kepentingan oligarki. Ia adalah ekspresi dari jeritan rakyat yang semakin tidak percaya terhadap sistem hukum dan pemerintahan yang ada. Munculnya mural ini harus dibaca sebagai tanda bahaya bagi demokrasi Indonesia: ketika rakyat tidak lagi bisa menyampaikan aspirasinya melalui jalur resmi, maka mereka akan mencari cara lain untuk bersuara.
Jika pemerintah terus bersikap represif dan tidak merespons dengan kebijakan yang lebih adil serta transparan, bukan tidak mungkin gelombang protes akan semakin meluas. Mural “Adili Jokowi” adalah sinyal bahwa rakyat tidak tinggal diam—dan sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa suara rakyat yang terus ditekan hanya akan semakin membesar hingga akhirnya meledak.