OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Dari berbagai literatur yang ada, diperoleh informasi Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (BULOG) memiliki sejarah singkat sebagai berikut, pada 10 Mei 1967, BULOG dibentuk sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/U/KEP/5/1967. Tujuannya adalah untuk mengamankan penyediaan pangan dan menjaga stabilitas harga.
Selanjutnya, pada 21 Januari 1969, tugas pokok BULOG direvisi menjadi melakukan stabilisasi harga beras.
Kemudian, pada 1987, BULOG direvisi kembali untuk mendukung pembangunan komoditas pangan yang multi komoditas. Lalu, pada 1993, BULOG direvisi lagi untuk memperluas tanggung jawabnya, yaitu koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi pangan.
Pada 2003, BULOG berubah status hukumnya menjadi Perum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 dan pada 2016, tugas BULOG diubah menjadi menjaga ketersediaan dan stabilitas harga beras, jagung, dan kedelai. Sejak saat itu, tidak ada lagi perubahan yang berarti, selain mempertegas Perum Bulog sebagai operator pangan.
Berdasarkan perjalanan panjang Bulog diatas, jelas terungkap sejak tahun 2003, Bulog yang semula berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUM) dalam wujud Perusahaan Umum (PERUM). Atas status barunya ini, Perum Bulog sering disebut sebagai Perusahaan Plat Merah.
Di tahun 2024 lalu, Presiden Prabowo berkehendak untuk mengenbalikan lagi status Bulog menjadi lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden. Bulog tidak lagi menjadi berstatus sebagai BUMN. Presiden ingin membebaskan Bulog dari statusnya sebagai perusahaan plat merah. Proses transformasi kelembagaannya, kini tengah digarap oleh Pemerintah.
Tulisan ini, hanya ingin merevieu perkembangan Perum Bulog selama hampir 22 tahun menjadi sebuah perusahaan plat merah. Beberapa pertanyaan yang cukup menarik untuk diungkap adalah apakah benar selama 22 tahun Perum Bulog sebagai BUMN telah mampu memerankan diri sebagai pemain bisnis pangan yang piawai dan unggul ? Atau belum ?
Sebagai BUMN yang memfokuskan garapan bidang pangan, Perum Bulog memiliki fungsi ganda, yakni pertama menjalankan peran bisnis dengan tujuan mersih keuntungan dan kedua melaksanakan peran sosial dengan memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua peran ini harus digarap secara bersamaan dan berbarengan.
Pengalaman menunjukkan, sejak ditetapkan sebagai BUMN, telah banyak upaya dan langkah yang ditempuh Perum Bulog dalam mengembangkan core bisnisnya. Berbagai komoditas pangan yang memiliki potensi dan peluang bisnis, dicoba diusahakan dan dikembangkan. Sayang, tidak ada satu pun yang berhasil dan memuaskan hasilnya, terkecuali beras.
Bahkan bisnis penggemukan sapi, menyeret para petinggi Perum Bulog harus berhadapan dengan Aparat Prenegak Hukum dan akhirnya Direjtur Utama Perum Bulog dan Direkturnya terpaksa harus berujung menjadi penghuni hotel prodeo. Setelah itu, Perum Bulog tampak seperti yang ketakutan untuk mengembangkan bisnis pangan non beras.
Memang tidak mudah membangun bisnis baru bagi Perum Bulog yang pegawainya belum terlatih berkiprah di dunia bisnis. Merubah dengan cepat karakter amtenar menjadi pebisnis, tidak segampang membolak-balik telapak tangan. Akibatnya, Perum Bulog cukup kesulitan menampilkan diri sebagai BUMN yang diperhitungkan di percaturan dunia bisnis.
Gagal membangun raksasa bisnis di bidang pangan, Perum Bulog terekam lebih terdengar namanya dalam menjalankan peran sosialnya (social responsibility). Perum Bulog terbilang sukses dalam menyelenggaran impor beras. Begitu juga dalam melaksanakan Program Bantuan Langsung Beras kepada 22 juta runah tangga penerima manfaat yang tersebar di seluruh Nusantara.
Sebetulnya, banyak diantara kita menunggu kapan Perum Bulog akan mampu tampil menjadi raksasa bisnis pangan yang disegani di pentas dunia. Kita juga mendambakan Perum Bulog mampu membakukan keuntungan yang cukup besar, sehingga membanggakan bagi keberadaan sebuah BUMN. Sayang, hal itu selama 22 tahun belum dapat dibuktikan.
Dengan gambaran seperti ini, menjadi sangat masuk akan jika Presiden Prabowo berkehendak membebaskan Bulog dari statusnya sebagai BUMN dan mengoptimalkan perananannya dalam memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat. Terlebih dengan adanya kemauan politik Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan.
Akhirnya perlu diingatkan, 22 tahun Bulog menjadi BUMN ternyata tidak mampu menjadikan lembaga paraststal ini, memberi karja terbaik atas kehadirannya, dalam membangun diri sebagai pemain bisnis pangan yang membanggakan. Bulog tetap saja hadir sebagai anak bawang dibandingkan dengan perusahaan swasta besar
Dibebaskannya Bulog dari status BUMN, harapan menjadikan Bulog sebagai raksasa bisnis pangan pun ujung-ujungnya hanya tinggal kenangsn belaka. Memilukan ! (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).