Sepertinya negara sudah mengalami intellectual bankruptcy. Ketidakmampuan menciptakan sistem yang bersih dan berintegritas kini coba ditutupi dengan wacana rekrutmen santri sebagai anggota Polri. Dalihnya, karena santri dianggap memiliki moral superiority, maka mereka lebih layak menjadi penegak hukum dibandingkan lulusan umum lainnya. Namun, apakah ini game changer yang kita butuhkan, atau hanya sekadar smokescreen untuk menutupi kebobrokan sistem?
Kita tentu tidak meragukan bahwa pendidikan di pesantren menanamkan nilai-nilai moral dan kedisiplinan yang tinggi. Namun, mengasumsikan bahwa seseorang otomatis akan menjadi polisi yang jujur dan berintegritas hanya karena ia seorang santri adalah sebuah logical fallacy. Moralitas individu memang penting, tetapi dalam sistem yang sudah systemically corrupt, bahkan orang-orang terbaik pun bisa terperangkap dalam arus kebobrokan.
Fakta berbicara, beberapa Menteri Agama—jabatan yang seharusnya menjadi moral compass bagi bangsa—justru terseret dalam kasus korupsi. Ada yang sudah divonis, ada pula yang masih buron. Jika seorang Menteri Agama saja bisa tergoda oleh power and greed, apakah kita yakin bahwa seorang santri yang masuk ke dalam institusi kepolisian yang penuh moral hazard akan tetap bersih?
Prof. Mahfud MD pernah mengatakan, “Jangankan santri atau menteri agama, malaikat pun bila hidup dalam sistem ini bisa berubah menjadi iblis.” Ini adalah kritik keras terhadap institusi hukum dan birokrasi kita yang sudah begitu dysfunctional, sehingga integritas individu bukan lagi jaminan. Persoalan utama bukan siapa yang direkrut, melainkan bagaimana checks and balances dalam sistem bekerja untuk membentuk dan mengawasi mereka.
Wacana rekrutmen santri sebagai solusi perbaikan moral dalam kepolisian adalah bentuk oversimplification yang menyesatkan. Jika sistemnya tetap dibiarkan rotten to the core, santri yang masuk pun hanya akan menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Alih-alih menjadikan santri sebagai moral shield, pemerintah harus lebih fokus pada systemic reform yang menciptakan budaya hukum yang accountable dan bebas dari korupsi.
Tanpa perbaikan struktural, harapan bahwa santri bisa membawa perubahan hanyalah wishful thinking. Yang lebih mungkin terjadi justru sebaliknya: santri yang awalnya berakhlak baik pun bisa terseret dalam arus kebusukan yang sudah menjadi status quo di institusi kepolisian.