Komunitas nelayan Aceh berharap pemerintah memberikan perlindungan bagi mereka dari ancaman pidana karena mendaratkan pengungsi yang terombang-ambing di tengah laut. Mereka juga meminta keringanan hukuman bagi tiga rekan mereka yang dipenjara dengan dakwaan penyelundupan orang saat membawa para pengungsi Rohingya ke darat.
Kaum nelayan Aceh tersebut menyatakan sikap, setelah pada pertengahan tahun lalu tiga nelayan di Aceh Utara divonis lima tahun penjara. Pengadilan menyatakan ketiganya terlibat dalam kejahatan penyelundupan orang dalam pendaratan 99 pengungsi Muslim Rohingya pada Juni tahun 2020.
Sekretaris komunitas nelayan lokal– Panglima Laot Aceh–Miftach Cut Adek, berharap pengadilan mau mengurangi masa hukuman penjara yang dijatuhkan kepada mereka karena mereka adalah pencari nafkah keluarga.
“Benar mereka nelayan yang diupah, mereka kan mengambil uang untuk suruhan,”Tolong ambil orang saya di laut.” Ya tentu salah karena dia ambil uang. Tapi masa karena uang yang diambil itu Rp 5 juta, lalu dia divonis lima tahun? Mereka itu nelayan miskin,” kata Miftach melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan komunitasnya telah meminta pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum di pengadilan untuk meringankan vonis ketiga nelayan rekan mereka itu. Di luar hal itu, Miftach mengatakan yang dilakukan ketiganya tak lain adalah untuk menyelamatkan nyawa manusia lain.
“Dulu kita pernah bicara dengan orang Mabes Polri juga. Kita menyatakan menerima mereka bersalah, tapi ya jangan dihukum seberat itu,” kata Miftach. “Kalau koruptor yang ditangkap, anaknya foya-foya. Kalau mereka yang ditangkap, ya anak dan istrinya mati kelaparan.”
Nilai kemanusiaan
Panglima Laot di Kabupaten Bireuen, Badruddin Yunus, pemenjaraan terhadap tiga orang tersebut sempat membuat para nelayan di Bireuen ragu untuk membantu lebih dari 100 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di perairan timur dekat Aceh akhir Desember tahun lalu.
“Kami nelayan menolong itu untuk kemanusiaan, tapi kenapa malah menjadi malapetaka?” kata Badruddin, kepada BenarNews.
Menurutnya, karena mereka ragu bertindak sendiri, nelayan memutuskan untuk menghubungi petugas kepolisian perairan dan komandan Angkatan Laut untuk meminta supaya pengungsi bisa didaratkan.
Pertengahan Juni 2021, Pengadilan Negeri Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada tiga nelayan – Abdul Aziz, Faisal Afrizal dan Afrijal alias Raja. Pengadilan menyatakan ketiganya terbukti menyelundupkan puluhan warga Rohingya ke perairan Indonesia pada Juni 2020 melalui Aceh Utara dan menerima upah sekitar Rp1,5 juta untuk setiap orang yang diselamatkan.
Dalam salinan putusan yang diterima BenarNews, Faisal terbukti menerima uang Rp7 juta dari jaringan penyelundup yang sebagiannya digunakan sebagai biaya sewa kapal untuk operasi penjemputan.
Badruddin enggan berbicara lebih jauh perihal kasus yang menimpa Faisal, tetapi menurutnya, ketika itu pihak pengacara sempat meminta komunitas nelayan di Bireuen itu untuk ikut mendukung advokasi pembebasan ketiganya.
“Memang pernah diminta, kami juga sempat bantu, karena kasihan keluarga, anak-anak dia. Kita melihatnya karena sebab mereka mau bantu orang, dia dapat hukuman,” kata Badruddin.
Thariq Fharline, Kepala Cabang lembaga amal Aksi Cepat Tanggap (ACT) Lhokseumawe di Aceh, mengatakan keluarga nelayan yang dipenjara kehilangan pencari nafkah. “Otomatis mereka sekarang kesulitan, terutama dalam hal ekonomi. Dari kami paling bantu-bantu untuk pangan, ada juga NGO lain yang bantu santunan,” kata Thariq melalui pesan singkat.
Pihaknya mengaku belum pernah bertemu dengan para terpidana yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Lhoksukon, Aceh Utara. Ia juga tidak mengetahui perihal kelanjutan upaya banding yang diajukan ketiganya.
Sejak penumpasan brutal oleh tentara Myanmar di negara bagian Rakhine terhadap warga Rohingya pada 2017, ratusan warga minoritas Muslim di Burma itu telah membayar penyelundup untuk mengangkut mereka ke Thailand dan Malaysia.
Warga Rohingya berharap untuk mencari pekerjaan jauh dari negara asalnya atau dari kamp-kamp pengungsi yang padat di negara tetangganya, Bangladesh.
Sejak kekerasan pada 2017 itu, sekitar 740.000 orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan menetap di kamp-kamp di sekitar Cox’s Bazar Bangladesh, yang sekarang menjadi rumah bagi sekitar 1 juta pengungsi. Selama bertahun-tahun, kelompok Rohingya menempuh perjalanan berat melalui laut mencari suaka di negara lain, tetapi sering ditolak masuk.
Indonesia bukan negara penanda tangan Konvensi Pengungsi PBB 1951 atau Protokol 1967 terkait Status Pengungsi. Ini juga menyebabkan Indonesia melarang pengungsi untuk mendapatkan pekerjaan atau menghadiri sekolah formal.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mendesak negara-negara di Asia Tenggara untuk segera menangani permasalahan pengungsi Rohingya. “Memang akan selalu ada potensi penyelundupan orang di wilayah perbatasan. Dan itu harus diinvestigasi secara efektif dan transparan,” kata Usman kepada BenarNews.
Ia meminta para pemimpin negara di kawasan untuk melihat persoalan Rohingya dimulai dari terjadinya persekusi terhadap etnis minoritas di Myanmar itu. Ia juga berharap pemerintah Indonesia bisa memandang kehadiran para pengungsi sebagai masalah kemanusiaan, bukan keamanan.
“Semua negara, tak terkecuali Indonesia dan negara-negara tetangga, wajib memberikan bantuan pada orang-orang yang ditemukan di laut dalam kondisi yang terancam hilang, bahaya dan berada dalam kesulitan (persons in distress),” kata dia.
Pengungsi tidak melarikan diri
Terlepas kasus hukum yang menjerat tiga rekan mereka, komunitas nelayan di Aceh mengaku akan tetap membantu para pengungsi Rohingya bila pada kemudian hari ditemukan kembali kapal mereka terombang-ambing di perairan dekat Aceh.
“Nelayan kami 100 persen siap bantu. Bukan hanya mendaratkan, sebisa mungkin kami bantu cari makanan juga buat mereka, tapi harapannya jangan ada yang melarikan diri dari pengungsian,” kata Badruddin.
Pada Minggu (30/1), empat pengungsi Rohingya dilaporkan melarikan diri dari kamp penampungan di Balai Latihan Kerja Kota Lhokseumawe. Keempatnya diketahui perempuan berusia antara 14 hingga 22 tahun kata juru bicara Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Rohingya Kota Lhokseumawe, Marzuki.
Dua pekan sebelumnya, sebanyak delapan perempuan pengungsi Rohingya juga hilang dari kamp penampungan yang sama.
Marzuki mengkhawatirkan mereka menjadi korban tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan jaringan dari Medan, Sumatra Utara. “Mereka kan pengungsi, bukan tahanan. Mereka mencari penghidupan lebih baik seperti kita. Tapi, sepertinya mereka ada yang menggerakkan karena sebelumnya ada yang melihat mobil, sepertinya menunggu mereka keluar,” kata Marzuki melalui sambungan telepon.
Marzuki mengatakan pihaknya telah menggelar rapat koordinasi dengan satgas penanganan pengungsi Rohingya di Aceh juga dengan perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), Imigrasi dan Organisasi Migran Internasional (IOM).
Badruddin melanjutkan, ia berharap para pengungsi Rohingya tidak perlu merasa kekurangan berada di kamp pengungsian. “Mereka sebetulnya tidak perlu khawatir, banyak makanan, tempat tidur yang layak. Justru yang dibawa lari itu belum jelas akan dibawa ke mana?” katanya.
SUMBER : BENARNEWS.ORG