OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Pernahkah kita mendengar ungkapan : “No farmer, no food, no future” (tidak ada petani, tidak ada pangan, tidak ada masa depan). Bagi yang sering dan rajin mengikuti kiprah Dirut Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, ungkapan diatas, bukanlah hal baru. Sudah sejak lama hal ini dikumandangkan dalam berbagai kesempatan. Petani, Pangan dan Masa Depan perlu dikemas dalam satu cara pandang, sehingga mampu memberi berkah kehidupan.
Petani yang menurut Proklamator Bangsa Bung Karno akronim dari “Penyangga Tatanan Negara Indonesia”, bagi bangsa kita memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan berbangsa,bernegara dan bermasyarakat. Petani merupakan sokoguru revolusi. Sekarang, setelah Indonesia merdeka, petani pantas disebut sebagai sokoguru pembangunan.
Saat ini, keberadaan petani cukup menarik untuk dibincangkan, setelah muncul sinyal, profesi petani semakin tidak diminati oleh kaum muda perdesaan. Bahkan lebih gawat lagi, para orang tua yang selama ini bekerja sebagai petani, melarang anak-anaknya untuk bekerja sebagai petani padi. Mereka rela menjual sawah ladang demi membiayai anak-anaknya menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Jujur kita akui, setelah 79 tahun Indonesia Merdeka, nasib dan kehidupan sebagian besar petani padi di negeri ini, masih hidup menprihatinkan. Sebutan sebagai “penikmat pembangunan” belum pantas dilekatkan kepada mereka. Hal ini, sangat kontras dengan kehidupan 9 Naga yang menguasai ekonomi nasional.
Petani padi, khususnya yang berlahan sempit atau sama sekali tidak memiliki lahan pertanian, lebih pas disebut sebagai “korban pembangunan”. Banyak kebijakan yang dilahirkan, cenderung meminggirkan petani dari hiruk pikuknya pembangunan. Selain itu, masih banyak lagi program pembangunan, yang tidak pro petani.
Satu pe-er besar yang butuh jalan keluar dengan segera adalah sejauh mana Pemerintah mampu memberi “jaminan” kepada kaum muda sekarang, kalau menjadi petani padi di negeri ini tidak akan hidup sengsara. Tapi, sebaliknya menjadi petani padi akan dapat hidup sejahtera dan bahagia. Persoalannya, jaminan seperti apa yang harus kita siapkan ?
Berkurangnya minat kaum muda untuk menjadi petani padi, kalau tidak ditangani dengan serius, bisa saja berdampak kepada produksi pangan, khususnya beras. Itu sebabnya, jaminan diatas menjadi sangat penting demi terjaganya masa depan pembangunan pertanian. Bagaimana pun regenerasi petani padi jangan dianggap hal sepele. Tapi, butuh perhatian sungguh-sungguh untuk dicarikan jalan keluarnya.
Soal alih generasi petani ini, Pemerintah sempat menawarkan kepada generasi milenial untuk menampilkan diri sebagai Petani Milenial. Sayang, perkembangannya belum seperti yang diharapkan. Petani Milenial lebih tertarik untul mengembangkan aspek bisnisnya ketimbang terjung langsung di aspek budidayanya. Jarang Petani Milenial yang mau “bobolokot” dan turun langsung ke sawah.
Berkelap-kelipnya sinyal keengganan kaum muda untuk menjadi petani padi, sebenarnya sudah menyala sejak 40 tahun lalu. Akan tetapi, tidak ada satupun diantara kita yang serius menyikapinya. Namun sekarang, tampak suasananya sudah berbeda. Dengan semakin sepuhnya para petani padi, tidak bisa dicegah, kita harus menyiapkan para penerusnya.
Kini, regenerasi petani tampil menjadi sebuah kebutuhan. Regenerasi petani merupakan “harga mati”. Tanpa didukung jumlah “petani penerus” yang layak, omong kosong program prioritas Prabowo/Gibran terkait mencapai swasembada pangan akan tercapai. Itu alasannya, mengapa masalah alih generasi petani padi, penting dijadikan agenda utama dalam strategi pembangunan pertanian ke depan.
“Tidak ada Petani, tidak ada Pangan dan tidak ada Masa Depan”, jangan hanya dijadikan jargon kehidupan. Apalagi jika cuma dijadikan pemanis pidato para pejabat dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Stop pencitraan. Hentikan basa-basi. Bangsa ini butuh kaum muda yang secara ikhlas mau berkiprah sebagai petani padi.
Kalau selama ini terkesan Pemerintah seperti yang kurang serius menanggapi soal regenerasi petani padi, maka menjadi tugas kita bersama untuk selalu mengingatkannya. Apa jadinya sebuah negeri agraris, jika tidak ada lagi petaninya. Pemerintah dengan seabreg kekuasaan dan kewenangan yang digenggam, sepantasnya mampu menyiapkan para petani penerus ini.
Tak kalah penting untuk dicarikan jalan keluar cerdas adalah masalah klasik yang selalu dihadapi para petani di lapangan. Setiap musim tanam tiba, petani selalu mengeluhkan masalah kelangkaan pupuk bersubsidi, dan pada saat musim panen datang, petani selalu dihadapkan pada problem anjlognya harga gabah atau beras di tingkat petani. Suasana ini selalu saja terjadi dan berulang.
Jangan biarkan masa depan berlalu tanpa pesan. Dalam kaitannya dengan keberadaan petani dan ketersediaan pangan, masa depan harus disiapkan dengan baik. Salah besar, bila kita membiarkan masa depan kepada alam. Generasi baru petani padi, perlu dirancang cukup apik, sehingga tidak jadi soal dalam perkembangannya. Begitupun dengan ketersediaan pangan yang dibutuhkan.
Bangsa kita telah bertekad, 2045 ditetapkan sebagai era Indonesia Emas. Visi Indonesia Emas 2045 adalah suatu gagasan yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045. Kita ingin berikan kado ulang tahun terbaik kepada Ibu Pertiwi dalam menyemaraki 100 tahun Indonesia Merdeka. Salah satunya, mengumandangkan kalimat “ada petani, ada pangan dan ada masa depan”. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).