FusilatNews – Kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh superioritas militer atau persenjataan canggih, tetapi juga oleh kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, terutama pangan. Sebuah negara yang tidak dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri sesungguhnya berada dalam kondisi yang rapuh dan bergantung pada pihak luar. Sayangnya, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa ketahanan pangan masih menjadi tantangan besar.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, dengan penuh optimisme menyatakan bahwa Indonesia tidak akan mengimpor beras, garam, gula, dan jagung pada tahun 2025. Pernyataan ini seharusnya menjadi kabar baik, mengingat ketergantungan pada impor komoditas pangan dapat melemahkan kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan petani dalam negeri. Namun, kenyataan berkata lain. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, justru mengonfirmasi bahwa pemerintah akan mengimpor 200 ribu ton gula mentah (raw sugar) untuk cadangan pangan pada 2025. Ironi ini mencerminkan inkonsistensi kebijakan dan lemahnya perencanaan dalam sektor pangan nasional.
Arief menegaskan bahwa impor ini bukan karena produksi dalam negeri tidak mencukupi, melainkan sebagai langkah strategis untuk menjaga kestabilan harga gula di pasaran. Namun, fakta bahwa harga gula terus meningkat hingga menyumbang inflasi sebesar 1,4% menunjukkan bahwa ada persoalan mendasar dalam sistem produksi dan distribusi gula di Indonesia. Jika produksi dalam negeri benar-benar mencukupi, seharusnya pemerintah lebih fokus pada optimalisasi distribusi dan efisiensi biaya produksi, bukan mengandalkan impor sebagai solusi instan.
Kebutuhan gula nasional saat ini berkisar antara 230-300 ribu ton per bulan. Dengan produksi dalam negeri yang diklaim mencukupi, keputusan impor menjadi tanda tanya besar. Pemerintah berdalih bahwa impor gula mentah lebih murah saat dilakukan bersamaan dengan masa panen petani. Namun, kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap harga gula di tingkat petani lokal. Jika pemerintah benar-benar ingin memperkuat sektor pangan nasional, seharusnya yang dilakukan adalah memperbaiki sistem produksi, efisiensi distribusi, serta memberikan insentif yang mendorong petani untuk meningkatkan hasil panen mereka.
Ketergantungan pada impor pangan bukanlah sekadar masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut kedaulatan bangsa. Jika Indonesia terus-menerus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, maka negara ini akan semakin rentan terhadap fluktuasi pasar global dan kebijakan perdagangan internasional yang sering kali tidak berpihak pada negara berkembang.
Sebuah bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, terutama dalam hal pangan. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata untuk mencapai kemandirian pangan dengan membangun ekosistem pertanian yang lebih kuat, memperbaiki tata kelola distribusi, serta mengurangi ketergantungan pada impor. Tanpa langkah konkret dan konsistensi dalam kebijakan, harapan untuk mencapai kemandirian pangan hanyalah sebatas retorika politik belaka.