Di banyak negara maju, penggunaan transportasi umum oleh pejabat pemerintah bukanlah hal yang luar biasa. Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, misalnya, kerap terlihat naik kereta bawah tanah di London. Di Jepang, pejabat tinggi, bahkan Perdana Menteri, tidak jarang menggunakan shinkansen untuk perjalanan dinas. Fenomena ini bukan sekadar simbol kesederhanaan, tetapi juga mencerminkan efisiensi serta dukungan terhadap sistem transportasi publik.
Sebaliknya, di Indonesia, pejabat yang menggunakan transportasi umum masih menjadi pemandangan langka. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia tidak menggunakan MRT karena tidak ada pemberhentian di depan kantornya. “Saya mau naik MRT kalau berhenti di depan situ,” ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan bagaimana pejabat di Indonesia masih mengutamakan kenyamanan pribadi ketimbang mendukung sistem transportasi publik.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) telah mendorong agar pejabat lebih sering menggunakan angkutan umum, setidaknya sekali seminggu. Hal ini bukan hanya untuk memberikan contoh kepada masyarakat, tetapi juga untuk memahami langsung kondisi dan tantangan transportasi umum. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pejabat lebih memilih kendaraan dinas yang dikawal, sehingga semakin memperburuk kemacetan di ibu kota.
Sebagai perbandingan, di negara seperti Jerman dan Singapura, penggunaan transportasi umum oleh pejabat tidak hanya menjadi kebiasaan tetapi juga bagian dari kebijakan penghematan anggaran negara. Kanselir Jerman, misalnya, sering kali naik kereta cepat untuk perjalanan dinas. Di Singapura, para menteri dan pejabat senior terbiasa naik MRT atau bus tanpa pengawalan berlebihan. Budaya ini mencerminkan kedisiplinan dan efisiensi, serta menunjukkan kepedulian terhadap sistem transportasi yang mereka kelola.
Sebaliknya, di Indonesia, penggunaan kendaraan dinas dan pengawalan ketat masih menjadi simbol status bagi banyak pejabat. Hal ini tidak hanya menciptakan kesenjangan antara pemerintah dan rakyat, tetapi juga memperparah ketimpangan sosial. Padahal, jika pejabat lebih sering menggunakan transportasi umum, mereka akan lebih memahami kebutuhan masyarakat dan dapat mendorong kebijakan yang lebih baik dalam pengelolaan transportasi publik.
Sebagian kecil pejabat telah memberikan contoh positif. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pernah tertangkap kamera sedang menggunakan MRT Jakarta. Meskipun ini merupakan langkah baik, namun belum menjadi kebiasaan umum di kalangan pejabat lainnya.
Jika Indonesia ingin menjadi negara dengan sistem transportasi publik yang maju, maka para pejabat harus memulainya dengan memberikan contoh. Mengurangi penggunaan kendaraan dinas dan lebih sering menggunakan transportasi umum bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap kondisi nyata yang dihadapi masyarakat setiap hari. Sebab, bagaimana mungkin kebijakan transportasi publik bisa efektif jika para pengambil kebijakan sendiri tidak pernah mengalaminya secara langsung?