Suatu hari, saya berbincang-bincang dengan Prof. Hogan di veranda rumahnya di Sydney. Kami membahas kemungkinan Presiden Bush menyerang Irak. Di tengah-tengah seluruh dunia yang menentang rencana serangan itu, saya bertanya kepada beliau tentang kemungkinan serangan tersebut. Lalu apa yang beliau, yang sering saya panggil “Tom”, jelaskan? “Ali, orang idiot itu keputusannya sulit bisa diprediksi,” jawabnya. Dan akhirnya, memang Bush menyerang Irak, menghancurkan negara itu, dan menangkap pemimpinnya.
Kisah serupa terjadi di Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan-kebijakan yang diambilnya sering kali sulit diprediksi dan, dalam banyak kasus, tampak irasional. Seperti halnya Bush yang mengabaikan suara dunia dan tetap menyerang Irak, Jokowi kerap mengabaikan suara rakyat dan justru memilih kebijakan yang merugikan kepentingan bangsa dalam jangka panjang.
Ambil contoh pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Di tengah ekonomi yang lesu, utang negara yang terus membengkak, dan kebutuhan rakyat yang lebih mendesak seperti pendidikan dan kesehatan, Jokowi tetap bersikeras memindahkan ibu kota dengan anggaran yang fantastis. Kritikus dari berbagai kalangan—akademisi, ekonom, hingga masyarakat sipil—telah mengingatkan tentang risiko besar dari proyek ini. Namun, Jokowi tetap melaju dengan keputusan tersebut, layaknya Bush yang nekat menyerang Irak.
Selain itu, kebijakan politik dan hukum di era Jokowi juga menunjukkan ketidakpastian yang sama. Di satu sisi, ia berbicara tentang demokrasi dan reformasi hukum, tetapi di sisi lain, ia membiarkan pelemahan KPK, kriminalisasi terhadap oposisi, dan penegakan hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Kasus-kasus seperti revisi UU KPK, pemenjaraan aktivis, dan dugaan intervensi hukum dalam Pemilu menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang diambilnya sering kali tidak sesuai dengan logika demokrasi yang sehat.
Hal lain yang mengingatkan kita pada pola kepemimpinan Bush adalah cara Jokowi menangani proyek infrastruktur. Seperti Bush yang membenarkan invasi Irak dengan dalih senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan, Jokowi membenarkan pembangunan infrastruktur dengan klaim pertumbuhan ekonomi, meski faktanya banyak proyek yang terbengkalai, membebani keuangan negara, dan tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan rakyat.
Keputusan pemimpin yang sulit diprediksi ini bukanlah tanda kecerdikan atau strategi jitu, melainkan refleksi dari kebingungan, inkonsistensi, atau bahkan keberpihakan pada kepentingan tertentu yang tidak transparan. Seperti yang dikatakan Prof. Hogan tentang Bush, “Orang idiot itu keputusannya sulit bisa diprediksi.” Dan tampaknya, ucapan ini juga relevan jika kita melihat pola kepemimpinan Jokowi dalam berbagai aspek pemerintahan.
Ketika seorang pemimpin tidak lagi mendasarkan keputusan pada akal sehat, kepentingan rakyat, dan data yang objektif, maka hasilnya adalah kebijakan yang berantakan dan merugikan bangsa. Sebagaimana Irak yang porak-poranda akibat keputusan Bush, Indonesia pun tengah menuju ketidakpastian yang sama di bawah kepemimpinan yang sulit diprediksi ini.