Damai Hari Lubis-Koordinator Advokat TPUA
Ketua Majelis Hakim justru “diusir” oleh Eggi dan kawan-kawan melalui surat permohonan perihal “etik dan penggantian hakim” kepada Ketua Komisi Yudisial, Ketua MA, dan Ketua PN Jakarta Pusat. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim “hengkang” dari kasus ini dan kabarnya dipindahkan menjadi hakim anggota di Pengadilan Tinggi Lampung.
Tidak seperti nasib gugatan TPUA/Tim Pembela Ulama & Aktivis terkait “Jokowi Ijazah Palsu” di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor 610/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst, yang dipimpin oleh Kapten Advokat Prof Eggi Sudjana dengan Co-Captain Advokat DHL, Azam Khan, Arvid, dan Kurnia beserta kawan-kawan. Gugatan ini diawali dengan “pengusiran” terhadap seorang perempuan yang bertindak sebagai kuasa hukum Tergugat 1, Jokowi (sebelum Otto Hasibuan), yang mendapat dukungan dari pengunjung sidang. Akibatnya, perempuan tersebut dikeluarkan dari ruang sidang atas perintah hakim ketua majelis.
Pada sidang minggu berikutnya, Ketua Majelis Hakim justru “diusir” oleh Eggi dan kawan-kawan melalui surat permohonan perihal “etik dan penggantian hakim” kepada Ketua Komisi Yudisial, Ketua MA, dan Ketua PN Jakarta Pusat. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim “hengkang” dari kasus ini dan kabarnya dipindahkan menjadi hakim anggota di Pengadilan Tinggi Lampung.
Namun tragis, pada sidang gugatan ke-15/16 saat putusan sela tertanggal 25 April 2024, gugatan TPUA dinyatakan N.O. atau niet ontvankelijk verklaard, yang berarti tidak diterima. Hal ini disebabkan oleh dalil hukum terkait kompetensi absolut, sehingga belum memasuki tahapan materi hukum atau objek pokok perkara, melainkan hanya pada asas perdata formil atau hal kewenangan badan peradilan.
Namun, terhadap putusan sela a quo PN Pusat, pada tanggal 7 Mei 2024, TPUA yang mewakili para penggugat prinsipal, yaitu Bambang Tri Mulyono yang kini masih meringkuk di penjara LP Klaten, Jateng, Hatta Taliwang, Arbi Muslim, Topik Bahauddin, dan Rizal Fadillah, resmi mengajukan banding ke judex facti Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus D. Tobing pada Kamis, 3 Agustus 2023. Gugatan dengan nomor perkara 712/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL. Justru TPUA (Eggi, DHL, Azam, Arvid, dan J. Hasibuan) yang mewakili prinsipal Dr. M. Taufik, ahli pidana dari Kota Solo, dan Hatta Taliwang, mantan anggota DPR RI dari Partai PAN, yang cawe-cawe dalam koridor hukum intervensi voeging, terhadap gugatan perbuatan melawan hukum dari D. Tobing terhadap Tergugat Rocky Gerung.
Gugatan tersebut berkaitan dengan ungkapan sarkastik dari Rocky Gerung yang mengatakan “Jokowi bajingan tolol”, sehingga digugat untuk tidak dapat berkiprah dalam dunia kebebasan menyampaikan pendapat pada setiap acara sebagai pembicara dalam agenda pertemuan dan seminar, baik undangan diskusi publik, termasuk aksi demo. Tobing menggugat agar pengadilan melarang Rocky untuk melakukan dialog maupun monolog seumur hidupnya, mengingat substansial makna dari kebebasan HAM dan kehidupan demokrasi pada setiap acara publik umumnya.
Sementara itu, dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, TPUA berhasil menunjukkan bahwa gugatan tersebut melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, pengadilan memutuskan untuk menolak gugatan D. Tobing dan membebaskan Rocky Gerung dari segala tuntutan yang diajukan kepadanya. Putusan ini menegaskan pentingnya menjaga kebebasan berbicara dan berpendapat sebagai bagian fundamental dari demokrasi.
Perbandingan antara nasib gugatan TPUA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan menunjukkan bagaimana kompleksitas hukum dan dinamika pengadilan dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Meski menghadapi banyak tantangan, TPUA terus memperjuangkan hak-hak para prinsipal dan prinsip kebebasan yang mendasari sistem hukum kita. Kedua kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana proses hukum berjalan di Indonesia dan pentingnya kesadaran serta keadilan dalam setiap langkah hukum yang diambil.
Ternyata ada perbedaan batasan serta kualitas berpikir antara para hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan. Majelis hakim di PN Jakarta Selatan menunjukkan nuansa nalar kecerdasan yang berada di atas level wawasan pengetahuan hukum dibandingkan dengan rekan-rekannya di PN Jakarta Pusat. Hal ini terlihat dari putusan yang menolak gugatan D. Tobing di PN Jakarta Selatan, yang sebelumnya juga menolak eksepsi tergugat intervensi, D. Tobing, terhadap gugatan Penggugat Intervensi Voeging (TPUA) yang mewakili Dr. Taufik dan Hatta Taliwang.
Dengan kata lain, Rocky Gerung tetap dapat bebas berbicara dan menyampaikan pendapat ilmiahnya kapan saja dan di mana saja. Namun, ketidakpuasan Penggugat atas putusan PN Jakarta Selatan terbukti dengan pengajuan banding oleh Tobing pada 25 April 2024.
Fenomena terkait perkembangan hukum yang ada pada dua peristiwa hukum di PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan menunjukkan adanya komparasi mencolok antara kedua perkara tersebut. Faktor yang menonjol adalah jabatan individu dari pihak yang menjadi tergugat, yang membawa beban psikologis serta risiko tinggi bagi para hakim.
Di PN Jakarta Pusat, pendekatan subjektivitas dan fakta bahwa tergugat adalah tokoh negarawan nomor satu di pemerintahan yang masih menjabat, membuat beban perkara menjadi lebih berat. Perkara ini terkait dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu, yang merupakan isu memalukan dan sensitif. Hal ini bukan hanya tentang kualitas atau IQ para hakim, tetapi juga tentang kompleksitas jabatan Tergugat 1, yaitu Presiden RI.
Sementara itu, di PN Jakarta Selatan, meskipun tergugat adalah Rocky Gerung, seorang ilmuwan dan oposan, perkara ini tidak membawa beban jabatan setinggi perkara di PN Jakarta Pusat. Rocky, meskipun kontroversial, tidak memiliki kekuasaan eksekutif, sehingga tekanan psikologis dan risiko terhadap hakim berbeda.
Kasus di PN Jakarta Pusat menyangkut moral hazard seorang kepala negara yang masih aktif menjabat, sehingga hakim menghadapi tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan kasus Rocky Gerung, yang lebih terkait dengan kebebasan berpendapat. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam beberapa kasus, keputusan hukum mungkin dipengaruhi oleh status dan posisi politik pihak yang terlibat.
Secara keseluruhan, kedua kasus ini menggambarkan betapa kompleksnya proses hukum di Indonesia, terutama ketika melibatkan individu dengan posisi jabatan yang berbeda. Keputusan di PN Jakarta Selatan menunjukkan keberanian dan kecerdasan hukum yang luar biasa, sementara keputusan di PN Jakarta Pusat menunjukkan betapa sulitnya menghadapi kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Di sisi lain, perbedaan ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem peradilan dalam menjaga keadilan dan independensi, terutama ketika berhadapan dengan tekanan eksternal yang signifikan. Keberanian para hakim untuk tetap berpegang pada prinsip hukum yang benar adalah kunci untuk menjaga integritas sistem peradilan dan kepercayaan publik.