Di tengah senyap politik pasca-pemilu, suara keras tiba-tiba menggema dari barisan jenderal yang telah pensiun dari medan laga. Seruan mereka bukan sekadar nostalgia akan kejayaan masa silam, melainkan sebuah ultimatum politik: pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih yang naik ke tampuk kekuasaan melalui jalan kontroversial.
Beberapa pekan lalu, sejumlah purnawirawan TNI menyampaikan keprihatinan mereka secara terbuka. Bukan hanya menyoal dugaan pelanggaran etik Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran, tapi juga mempertanyakan kelayakan anak Presiden itu dalam memimpin bangsa. Di tengah sorotan publik yang masih hangat, kelompok veteran lain, seperti LVRI dan PEPABRI, cepat-cepat tampil membalas. Mereka menolak gagasan pemakzulan itu dan menyebutnya sebagai tindakan inkonstitusional. Suasana pun memanas.
Inilah yang dalam terminologi militer disebut sebagai psychological warfare —perang psikologis. Sebuah teknik operasi non-fisik yang tujuannya bukan menghabisi lawan dengan senjata, melainkan meruntuhkan semangat dan memperkeruh persepsi publik. “Menyerbu tanpa bala tentara,” kata pepatah klasik. Para jenderal itu paham betul medan yang mereka mainkan. Mereka bukan awam dalam hal menggoyahkan kekuasaan tanpa menembakkan peluru. Inilah perang dalam bentuknya yang paling halus—namun mematikan.
Pertanyaannya kemudian: untuk apa kekisruhan ini dibayangkan? Untuk siapa gambaran instabilitas ini disebarkan?
Jawabannya adalah: politiking. Sebuah strategi politik untuk melemahkan legitimasi kekuasaan yang baru terbentuk. Seruan pemakzulan bukan semata-mata peringatan moral atau etis, melainkan bagian dari manuver membangun opini bahwa Gibran adalah titik lemah rezim Jokowi. Seorang pemimpin muda yang tidak pernah benar-benar menapaki jalan kenegarawanan—ia hanya menumpang kereta kekuasaan ayahnya.
Di sinilah sesungguhnya pesan utama ditujukan, bukan kepada publik, tapi langsung ke Joko Widodo: Anakmu itu tidak bermutu. Ia mungkin menang dalam permainan politik hukum, tapi ia gagal dalam membangun citra kepemimpinan. Ia bukan negarawan, hanya pewaris kekuasaan yang dipoles seolah-olah lahir dari meritokrasi. Bahkan di mata para senior militer, Gibran hanyalah produk dari manipulasi konstitusi, bukan hasil dari tempaan sejarah dan pengalaman.
Pesan ini disampaikan dalam bahasa yang lembut tapi tajam. Dalam tubuh militer, penolakan itu tidak seragam. Para pensiunan jenderal yang terbagi dalam dua kutub itu kini memperagakan konfrontasi simbolik yang tidak biasa—antar seragam yang pernah sama, kini berbicara dengan nada yang saling menegasi.
Namun, seperti umumnya perang psikologis, tujuannya bukan untuk menang seketika. Tapi untuk mengikis kepercayaan, menabur keraguan, dan menciptakan atmosfer krisis. Jika publik terus diguyur narasi bahwa Gibran tidak layak dan tidak sah, maka legitimasi pemerintahannya akan lemah sejak awal. Itu cukup untuk membuat setiap kebijakan yang ia tempuh nanti, berjalan dalam badai.
Jokowi, tentu, memahami medan ini. Ia anak kandung militerisme Orde Baru yang dibungkus dengan baju sipil. Tapi kini, ia sedang menyaksikan bahwa kekuasaan tidak bisa diwariskan begitu saja. Bahkan kepada anak kandungnya sendiri.
Sejarah selalu punya cara untuk membalas yang arogan. Dan para jenderal tua itu, tahu betul cara menuliskan bab pembalasannya.