FusilatNews – Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan Joko Widodo saat namanya terseret dalam dugaan ijazah palsu? Kebenaran? Hukum? Reputasi? Atau sekadar gengsi kuasa yang tergores? Sebab, alih-alih menjawab keraguan publik dengan cara negarawan, Jokowi justru memilih jalur pelaporan ke polisi, menggerakkan Polda Metro Jaya, dan menyeret pasal-pasal yang tidak relevan. Hanya satu orientasinya: memenjarakan siapa saja yang mengusik kenyamanan dirinya.
Yang dipertanyakan publik adalah keaslian dokumen akademik, tapi yang dilaporkan ke polisi justru pasal-pasal yang berhubungan dengan penyebaran berita bohong, penodaan agama, bahkan korupsi. Apa hubungannya? Di mana logikanya?
Kita menyaksikan hukum tidak lagi dipakai sebagai pelindung keadilan, melainkan sebagai tongkat pemukul bagi siapa saja yang berani mempertanyakan legitimasi kekuasaan. Sebuah penyelundupan norma sedang terjadi secara terang-terangan. Pasal demi pasal yang tidak memiliki korelasi dengan isu yang diangkat justru dijadikan alat kriminalisasi.
Lihatlah pasal-pasal yang dilaporkan. Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong — padahal Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan pasal ini tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Lalu, pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran kebencian terhadap SARA, meskipun isi kritik tidak pernah menyinggung SARA. Bahkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ikut ditarik ke pusaran — seolah-olah mempertanyakan keaslian ijazah adalah tindakan korupsi yang merugikan negara.
Cara berpikir macam apa ini?
Inilah bentuk telanjang dari apa yang disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan secara yuridis. Bukannya menjawab substansi, Jokowi malah merancang jebakan hukum untuk membungkam. Bukannya mengedepankan transparansi, ia justru mendorong aparat untuk mengaburkan kebenaran. Ia tidak ingin berdialog; ia ingin menghukum.
Dan hari ini, kita menyaksikan demokrasi digilas secara pelan-pelan oleh tangan yang dulunya dielu-elukan sebagai milik “rakyat kecil”. Jika Jokowi benar memiliki ijazah asli, maka biarkan pengadilan yang berbicara. Tapi jika aparat digunakan untuk menutupi kebenaran dan membungkam yang bertanya, maka kita punya alasan kuat untuk curiga: ada yang hendak disembunyikan.
Negara hukum bukan negara perasaan. Hukum tak boleh tunduk pada keinginan penguasa yang takut ditelanjangi masa lalunya. Rakyat berhak tahu siapa pemimpin mereka. Dan kalau itu dianggap kejahatan, maka hukum sudah dipelintir menjadi alat kekuasaan.
Inilah potret Jokowi hari ini: seorang presiden yang memilih melaporkan warganya ke polisi daripada menunjukkan ijazahnya ke publik.
Dan sejarah tidak akan mencatat ini sebagai tindakan bijak, tapi sebagai tanda bahwa demokrasi pernah dicekik oleh nafsu kekuasaan yang ingin memenjarakan.