Oleh: Entang Sastraatmadja – Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono, mengapresiasi keberhasilan panen raya nasional tahun 2025 yang memproyeksikan produksi beras mencapai 18,76 juta ton. Ia juga menyoroti rekor cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog yang kini menembus angka 3,5 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun terakhir.
Bulog bahkan harus mendirikan 25 ribu gudang improvisasi demi menampung hasil panen petani yang terus meningkat. Fakta ini menjadi sinyal kuat bahwa era ketergantungan terhadap impor beras telah usai. Inilah bukti konkret bahwa visi Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada beras bukan sekadar wacana.
“Good bye, impor beras.” Kalimat ini tak lagi sekadar harapan, melainkan kenyataan yang mulai terwujud. Produksi dalam negeri meningkat pesat. Cadangan pemerintah kokoh. Rasional sekali bila pemerintah memutuskan menyetop impor. Tak ada lagi alasan menjadikan impor sebagai solusi instan.
Selama ini, isu impor beras selalu menjadi polemik nasional. Indonesia yang pernah meraih penghargaan dunia sebagai negara swasembada beras, ironisnya tetap mengandalkan impor saat krisis datang. Impor dijadikan “jurus pamungkas” oleh mereka yang tak percaya pada kekuatan petani sendiri.
Tak heran bila banyak pengamat menilai, swasembada yang pernah dicapai, lebih bersifat “on trend”—sementara dan penuh hiasan statistik. Karena itu, capaian hari ini harus dijadikan tonggak awal menuju swasembada berkelanjutan, bukan sekadar euforia musiman.
Presiden Prabowo, jauh sebelum menjadi pemimpin negeri ini, telah menyuarakan pentingnya keluar dari ketergantungan impor. Saat memimpin Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), ia berulang kali menegaskan bahwa jalan menuju kedaulatan pangan dimulai dari keberpihakan nyata kepada petani.
Kini, setelah diberi amanah sebagai Presiden, Prabowo langsung tancap gas. Ia memprioritaskan revitalisasi pertanian dan reformasi kebijakan untuk memastikan Indonesia bisa mandiri dalam urusan pangan. Tak ingin sebatas janji, ia bekerja dalam diam namun terukur. Hasilnya kini mulai tampak.
Dengan cadangan 3,5 juta ton beras di tangan, wajar jika pemerintah menghentikan impor. Untuk apa lagi mengeluarkan devisa, jika petani dalam negeri sanggup mencukupi kebutuhan? Produksi naik, stok aman, rakyat tenang. Bahkan, politisi parlemen kini menyatakan, “Indonesia sudah berswasembada lagi.”
Namun ada satu catatan penting: jangan ulangi kesalahan masa lalu. Swasembada kali ini harus berkelanjutan, bukan “swasembada gaya hidup” yang muncul saat panen melimpah, lalu lenyap saat cuaca berubah. Sekarang saatnya membangun sistem pangan yang tahan uji, tahan krisis, dan tahan godaan impor.
Apresiasi tinggi patut diberikan kepada pemerintah. Bukti bahwa bila kebijakan berpihak pada petani, dan kerja dilakukan dengan serius, Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri—tapi juga bisa menjadi raksasa beras di Asia Tenggara. Saat ini, kita telah mencatatkan diri sebagai produsen beras terbesar di ASEAN.
Selamat tinggal, impor beras! Kini waktunya Indonesia berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat atas pangannya sendiri.