FusilatNews – Tujuh bulan sudah Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun di hadapan para anggota kabinetnya—orang-orang yang ia pilih, ia lantik, dan kini bekerja di bawah komandonya—yang ia ucapkan bukan perintah, bukan instruksi kerja, bukan evaluasi kinerja. Ia malah bicara tentang dirinya sendiri. Tentang tuduhan bahwa ia hanya “boneka Jokowi”. Tentang persepsi bahwa ia bukan pemegang kendali.
“Dibilang saya presiden boneka, dikendalikan oleh Pak Jokowi… Saya katakan itu tidak benar,” katanya. Ucapannya tak disampaikan dalam satu kalimat bulat, melainkan terpotong-potong, seperti menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar klarifikasi.
Apa yang mendorong seorang presiden untuk masih membahas hal ini di bulan ketujuh kekuasaannya?
Dalam semiotika politik, pernyataan semacam itu adalah pertanda: kekuasaan belum mapan secara simbolik. Ketika seorang presiden merasa perlu menyangkal, maka penyangkalan itu justru menjadi pengakuan terselubung atas realitas yang coba ia tolak. Apalagi jika penyangkalan itu dilakukan bukan di hadapan publik biasa, tetapi di ruang internal tertinggi: kabinet.
Ucapan-ucapan seperti “saya minta saran, saya konsultasi, pemimpin bijak memang begitu” dimaksudkan untuk menggambarkan dirinya sebagai pemimpin kolaboratif. Tapi dalam konteks relasi kuasa, itu bisa dibaca sebagai legitimasi terhadap dominasi lama—bahwa Prabowo masih merasa perlu menyebut Jokowi, masih merasa perlu membela relasinya dengan kekuasaan sebelumnya.
Tujuh bulan pertama biasanya adalah saat presiden mengukuhkan jejak. Jokowi, pada 2014, sudah meluncurkan program-program besar seperti Tol Laut dan Kartu Indonesia Sehat. SBY, tujuh bulan setelah dilantik, sudah berhadapan dengan ujian bom Bali II. Tapi Prabowo? Ia masih berbicara soal dirinya sebagai sosok yang tidak dikendalikan.
Mengapa?
Karena bayangan Jokowi masih kuat. Karena sebagian besar anggota kabinet Prabowo adalah loyalis Jokowi. Karena proyek IKN masih menjadi prioritas. Karena struktur ekonomi, politik, bahkan komunikasi negara ini masih dirancang dalam cetakan Jokowi. Maka, pidato itu sejatinya adalah upaya membujuk: kepada menterinya, kepada publik, dan—mungkin—kepada dirinya sendiri, bahwa ia sungguh sedang berkuasa.
Dan ketika ia berkata, “kita menjadi the good boy,” publik tak bisa tidak membaca ini sebagai pengakuan. Ia ingin dilihat sebagai presiden yang tidak akan merepotkan, tidak akan menabrak, tidak akan mengganggu arsitektur kekuasaan lama. Ia “baik” dalam pengertian: tidak subversif.
Tapi politik bukan soal jadi anak baik. Politik adalah tentang visi, keberanian, dan batas antara tunduk dan memimpin. Ketika Prabowo memilih untuk tetap menjadi “good boy” di bulan ketujuh kekuasaannya, ia sedang mengirimkan pesan bahwa status quo tetap aman. Bahwa jangan takut perubahan akan datang. Karena ia tidak sedang mengguncang, ia sedang menjaga.
Namun publik tidak buta. Rakyat melihat. Ketika seorang pemimpin terlalu sering menyebutkan siapa yang tidak mengendalikannya, maka mungkin, di situlah sebenarnya kendali itu berada.
Dan di sinilah kekuasaan Prabowo diuji. Bukan oleh oposisi. Tapi oleh simbol-simbol masa lalu yang terus menempel, bahkan saat ia sudah duduk di kursi tertinggi negeri ini.