Oleh: Entang Sastraatmadja
Sekitar 13 tahun lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Kemandirian Pangan Daerah. Perda ini kala itu dipandang cukup berani, sebab Pemerintah Pusat sendiri masih memilih istilah Ketahanan Pangan dalam regulasi nasionalnya. Jawa Barat justru lebih progresif dengan mengusung konsep Kemandirian Pangan.
Namun sejak awal, muncul kegamangan: bukankah kata kemandirian terlalu ambisius? Apakah tidak sebaiknya memakai istilah yang lebih “aman” yaitu ketahanan? Jangan-jangan Perda ini hanyalah upaya “mengecat langit” yang sulit diwujudkan. Hingga Perda ini terbit, perdebatan tersebut tidak pernah benar-benar tuntas.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan kemudian menegaskan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan bangsa memproduksi kebutuhan pangan dari dalam negeri, dengan mengoptimalkan sumber daya alam, manusia, ekonomi, dan kearifan lokal. Intinya jelas: kemandirian pangan tidak bisa terlepas dari keberhasilan mencapai swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor. Tanpa swasembada, kemandirian hanyalah ilusi.
Antara Ambisi dan Kenyataan
Pertanyaan krusial: apakah Jawa Barat hari ini sudah mampu mewujudkan swasembada pangan? Jawabannya tegas: belum. Swasembada beras memang pernah kita capai, namun jagung, kedelai, daging sapi, bawang putih, hingga gula masih jauh dari kata mandiri. Impor masih menjadi “penyelamat darurat” kebutuhan nasional.
Sejak era jargon Swasembada PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai), pemerintah silih berganti mencanangkan ambisi serupa. Anggaran digelontorkan, kebijakan diperbarui, tetapi hasilnya belum konsisten. Swasembada beras berhasil, sementara jagung dan kedelai masih menjadi “pekerjaan rumah” abadi.
Kini, di bawah Presiden Prabowo, semangat itu kembali didorong. Setelah klaim sukses swasembada beras, pemerintah menargetkan jagung dan kedelai. Namun faktanya, pada penghujung 2022 pemerintah masih harus menugaskan Perum Bulog mengimpor 350 ribu ton kedelai. Ironis—devisa terkuras, sementara petani lokal belum diberdayakan secara optimal.
Jalan Panjang Menuju Kemandirian
Kemandirian pangan bukan sekadar soal beras. Selama kondisi defisit masih terjadi pada kedelai, daging sapi, gula, dan bawang putih, kita belum bisa bicara mandiri. Di Jawa Barat, Perda Kemandirian Pangan seolah menjadi jebakan ambisi: cita-cita mulia yang terus bertubrukan dengan realita lapangan.
Meski begitu, menyerah bukan pilihan. Momentum politik dan kebijakan saat ini memberi ruang untuk berbenah. Kemandirian pangan harus dibangun lewat integritas, sinergi, dan kolaborasi yang nyata, bukan sekadar jargon. Hanya dengan cara itu Jawa Barat dapat membuktikan bahwa kemandirian pangan bukan utopia, bukan pula “lukisan di langit,” melainkan kenyataan yang bisa dicapai.
Mari kita buktikan bersama: Jawa Barat bisa istimewa bukan karena impornya, melainkan karena kemandiriannya.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)

Oleh: Entang Sastraatmadja





















