Fusilatnews – Baru-baru ini DPR RI menunjukkan bakat luar biasa dalam retorika tolol. Anggota Komisi XII “berani” menantang Shell, Vivo, dan BP untuk membuka SPBU di Papua. Heroik? Mungkin kalau dunia paralel, di mana laba bisnis tidak ada artinya dan risiko tinggi justru dianggap bonus. Di dunia nyata, tantangan itu hanya satu kata: konyol.
Mari kita luruskan fakta: tidak ada satu pun perusahaan swasta yang mau membuka SPBU di Papua. Alasan sederhananya: rugi. Infrastruktur minim, distribusi rumit, biaya tinggi, permintaan fluktuatif—ini bukan teori ekonomi, ini realita yang bisa ditebak tanpa harus jadi profesor. Jadi, DPR menantang swasta untuk melakukan sesuatu yang pasti tidak akan mereka lakukan. Terima kasih atas inovasi retorikanya.
Yang lebih konyol lagi: seolah-olah membuka SPBU di Papua adalah tugas swasta. Padahal, ini peran negara, lewat Pertamina. Negara hadir bukan hanya untuk simbol dan pidato, tapi untuk memastikan roda ekonomi daerah terpencil tetap berputar. SPBU di Papua bukan sekadar bisnis—ini strategi vital untuk memastikan distribusi BBM, konektivitas, dan kelancaran ekonomi lokal.
Tapi DPR lebih suka bermain teater. Tantangan mereka terhadap swasta adalah aksi pencitraan politik: heroik di berita, tapi nihil di lapangan. Hasilnya? Swasta tetap menolak, rakyat Papua tetap kesulitan mendapatkan BBM, dan ekonomi lokal tetap terhenti. Retorika DPR berhasil—tapi hanya dalam dunia maya, bukan realitas.
Jika DPR benar-benar peduli, mereka harus menggeser fokus ke Pertamina dan pemerintah pusat: pastikan BBM sampai ke SPBU, pastikan distribusi lancar, pastikan Papua tidak terjebak dalam kekosongan energi. Itu namanya fungsi negara sejati. Menantang swasta hanyalah simbol, simbol tolol yang membodohi publik.
Jadi, mari berhenti menonton drama DPR dan mulai menuntut aksi nyata dari negara, bukan retorika heroik yang jelas-jelas “pasti tidak akan berhasil.” Papua pantas mendapat lebih dari sekadar tantangan tolol.























