Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
…. Dalam hukum pidana bukti harus lebih terang dari cahaya “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”…..

Saat ini adalah saat yang paling mendesak untuk melakukan refleksi yurisprudensial dan perbandingan yang serius tentang banyaknya kekerasan yang terjadi dalam penegakan hukum. Ini adalah PR besar bangsa Indonesia, khususnya Legislatif dan Eksekutif (Polri).
Negara hukum seharusnya tunduk dan taat pada hukum, terlebih bagi penyelenggara negara harus menunjukkan ketaatan tersebut.
Dalam hukum pidana bukti harus lebih terang dari cahaya “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”. Hal ini menjadi penting sebab menyangkut hak-hak seseorang dan akan berpengaruh pada diri pelaku kejahatan bahkan lebih luas lagi yaitu bagi kelurganya yang akan terdampak dari penahanan seseorang.
Sedangkan pagi penyelenggaraan negara, apabila ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh petugas, dan pelanggaran tersebut dibawa ke pengadilan, maka hakim dapat mengesampingkan bukti namun tidak dapat membiarkan pelanggaran yang terjadi.
Hal tersebut adalah bentuk peringatan keras tentang betapa pentingnya tentang ketaatan terhadap hukum oleh penyelenggara negara.
Kepolisian dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya menjadi perhatian nasional akan tetapi menjadi perhatian manca negara, betapa buruknya perilaku-perilaku anggota dalam praktek penegakan hukum.
Buruknya perilaku tersebut tidak hanya dari anggota dengan hirarki dibawah, akan tetapi dilakukan perwira-perwira tinggi.
Dari membunuh anggota bunuh anggota, atasan tembak bawahan sendiri, menjadi pengedar narkoba, atau dugaan para bintang telah menjadi orang yang berdiri pada barisan terdepan untuk menjaga pelaku kejahatan dan ini adalah bentuk pengkhiatan pada negara.
Pengaturan Tentang DPO
KUHAP tidak mengatur tentang DPO, sedangkan UU NO 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian tak berbicara tentang hal tersebut.
Sebelumnya pada tahun 2012 berdasarkan PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA telah mengatur tentNG DPO.
PERKAP tersebut telah di cabut sebab dianggap tidak mumpuni lagi, sehingga pada tahun 2019 Polri menerbitkan Perpolri No. 6 TAHUN 2019 Tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Akan tetapi PERKAP NO. 6 Tahun 2019 tidak mengatur tentang DPO, sedangkan PERKABA lain yang berkaitan dengan aturan teknis reserse juga telah dicabut, diterbitkan yang baru namun tidak mengatur tentang DPO.
Berkaitan dengan kasus lama yang sedang ramai kembali diperbincangkan oleh netizen Indonesia yaitu “Vina Cirebon,” menarik untuk menjadi dasar untuk melihat dan menilai bagaimana tubuh Kepolisia Republik Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut bagaimana Polda Jawa Barat menangkap seorang DPO berdasarkan Putusan Hakim atas kasus tersebut.
Tentunya hakim tak punya kapasitas untuk menentukan seseorang menjadi DPO, tidak ada satu putusan didunia ini, dimana hakim menentukan seseorang menjadi DPO, sesat dan menyesatkan.
Apakah hakim menhgetahui ciri-ciri dari pelaku dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan? Tentunya TIDAK.
Putusan tentang DPO yang dilakukan hakim, tentunya didasari BAP pihak kepolisian Cirebon dengan rujukan PERKAP No. 14 Tahun 2012 yang telah di cabut.
Namun apakah petugas yang melakukan penyelidikan, penyidikan yang dimuat dalam BAP adalah petugas yang sesuai aturan polri sendiri?
Tidak ada amarah karena penyakit, tidak ada kepolosan karena hukuman, tidak ada keributan karena kebodohan. Apakah ini terjadi pada tubuh, apakah ini terjadi pada jiwa? “Peries à morbo, nullæ vires à languore, nulla innocentia à poena, nulla fo litudo à tumultu fecura. Hoc corpo ribus, hoc animis evenit?”
Apakah penyakit, amarah publik, kebodohan-kebodohan tersebut telah terjadi dalam tubuh kepolisian RI?
Thomas Aquinas pernah menyatakan bahwa pidana sebagai obat, “Malo in communi ejus que causis, effectis, ac remediis” kejahatan dalam masyarakat, penyebab, pengaruh dan obatnya.
Namun harus diketahui persoalan-persoalan utama terlebih dahulu dan apa jenis obat yang harus diberikan, atau masihkah tubuh dapat diobati atau di suntik mati.
Saat ini adalah saat yang paling krusial dan mendesak untuk melakukan refleksi yurisprudensial dan komperatif yang serius tentang penegakan hukum. Selain itu menghitung tentang kekerasan yang telah dilakukan pihak kepolisian dalam proses hukum pidana yang kerap kali merugikan masyarakat serta melukai negara.
Belum lagi masyarakat dan tersangka yang menjadi sasaran kekerasan atas nama keamanan nasional, hingga angka tahanan yang tewas cukup meningkat didalam penjara.
Dan semua ini adalah hal-hal yang dianggap telah umum terjadi dan didengar oleh telinga publik, tentunya negara yang dikatakan memiliki peradaban ini telah berubah menjadi biadab akibat kesewenang-wenangan penegak hukum.
Banyak anggota yang bekerja dengan baik yang mesti diselamatkan, demi kepentingan masa depan bernegara.
KESIMPULAN
Betapa buruknya bila dalam konsep negara hukum dimana petugas sendiri tak memiliki aturan sebagai pijakan dalam memproses, sedangkan selama ini aturan hukum yang mengatur kerap kali ditabrak. Setisp penegak hukum memiliki pertanggungjawaban hukum secara kolektif, mengingat para petugas mengemban nama besar instansi, selain daripada pertanggungjawaban pribadi.
Oleh sebab itu, sudah waktunya para penegak hukum berkaca dengan kaca yang baik tentang sejauh apa pelayanan dan perlindungan yang mereka janjikan pada masayarakat telah di terapkan dan sejauh apa sumpah yang di ikrarkan telah ditaati sendiri.
Mengingat Rakyatlah yang telah membebaskan Polri dari belenggu kejam DWI FUNGSI era orde baru, tentunya rakyat dapat mendorong konsep terdahulu untuk kembalikan.