FusilatNews – Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto meluncurkan program Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berfokus pada pengendalian pertumbuhan penduduk melalui Program Keluarga Berencana (KB). Program ini tidak hanya menekankan aspek pengurangan angka kelahiran tetapi juga mengintegrasikan faktor kesehatan dan gizi masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik, program ini bertujuan untuk menciptakan keluarga yang lebih sejahtera secara sosial dan ekonomi.
Kini, di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto—menantu dari Soeharto—pemerintah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini diklaim telah menjangkau 1,46 juta penerima manfaat sejak diluncurkan pada 6 Januari 2024, dengan target mencapai 82,9 juta penerima pada akhir tahun 2025. Namun, muncul pertanyaan fundamental: sejauh mana program ini memiliki konsep yang terintegrasi dengan sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat?
Konsep Program MBG: Holistik atau Sebatas Distribusi Makanan?
Jika dibandingkan dengan program KB pada era Orde Baru yang memiliki pendekatan multidimensi—mencakup kesehatan, pendidikan, dan ekonomi—maka MBG seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai program bantuan makan bergizi semata. Keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga dampaknya terhadap kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan angka kecukupan gizi, serta perbaikan dalam pola konsumsi makanan sehat.
Integrasi dengan sektor pendidikan menjadi krusial mengingat sasaran utama MBG adalah anak-anak sekolah. Program ini seharusnya dapat dikombinasikan dengan edukasi gizi agar para penerima memahami pentingnya pola makan sehat dan berkelanjutan. Selain itu, kerja sama dengan sektor kesehatan juga harus diperkuat, khususnya dalam pemantauan status gizi anak dan ibu hamil secara berkala guna memastikan bahwa distribusi makanan benar-benar meningkatkan kualitas kesehatan penerima manfaat.
Tantangan Implementasi dan Transparansi
Presiden Prabowo menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan MBG, mengingat potensi penyimpangan dalam pengadaan dan distribusi bahan pangan. Penggunaan minyak goreng yang berkualitas rendah serta praktik daur ulang minyak yang tidak sehat menjadi salah satu kekhawatiran utama yang disampaikan langsung oleh Presiden. Hal ini menunjukkan bahwa ada celah dalam sistem pengawasan yang perlu segera diperbaiki agar program ini benar-benar mencapai tujuan utamanya: meningkatkan kesejahteraan gizi masyarakat.
Di sisi lain, tantangan geografis juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan. Seperti yang terjadi di Papua, penolakan terhadap MBG menunjukkan adanya masalah komunikasi dan sosialisasi di daerah-daerah tertentu. Ini mengindikasikan bahwa keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada alokasi anggaran dan jumlah penerima manfaat, tetapi juga pada kesiapan infrastruktur, kesiapan masyarakat dalam menerima program, serta keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaannya.
Kesimpulan
Jika program KB di era Orde Baru berhasil karena pendekatan holistiknya, maka MBG perlu mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. Tidak cukup hanya membagikan makanan bergizi secara massal, tetapi program ini harus dipastikan memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Integrasi dengan pendidikan dan kesehatan menjadi kunci utama agar program ini tidak hanya menjadi proyek bantuan sesaat, melainkan mampu menciptakan perubahan fundamental dalam pola konsumsi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tanpa integrasi yang jelas, MBG berisiko menjadi program populis yang hanya bersifat jangka pendek tanpa dampak sistemik yang nyata.