OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Setidaknya ada tiga alasan penting, mengapa Pemerintah melahirkan Badan Urusan Logistik (Bulog) di negeri ini. Pertama, berkaitan dengan alasan ekonomi. Dalam kaitannya dengan stabilisasi harga, Bulog mengatur pasokan dan harga barang pokok. Kaitannya dengan pengamanan pasokan, Bulog mencegah kelangkaan dan ketergantungan impor. Dalam hal kepentingan petani, Bulog membeli produk petani dengan harga wajar. Selain itu dalam menekan inflasi, Bulog mengontrol harga barang pokok.
Kedua alasan sosial. Kaitannya dengan alasan ini Bulog menjamin keamanan pangan dengan memastikan ketersediaan bahan makanan. Lalu,
mengurangi kemiskinan dengan membantu petani dan masyarakat miskin. Bulog juga meningkatkan kesejahteraan dan menyediakan barang pokok dengan harga terjangkau.
Bulog mengurangi ketimpangan dengan mendistribusikan barang pokok ke daerah terpencil.
Ketiga terkait alasan strategis, utamanya menghadapi krisis dengan menyediakan stok barang pokok saat krisis. Lalu dalam hal menghadapi bencana dengan menyediakan bantuan logistik. Meningkatkan ketahanan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor. Dan mendukung pertahanan dengan menyediakan logistik untuk keperluan pertahanan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka dapat ditegaskan fungsi utama Bulog adalah pengadaan dan penyimpanan barang pokok; distribusi barang pokok ke daerah; pengaturan harga dan pasokan dan penyediaan bantuan logistik. Dalam konteks pembangunan pangan di Tanah Merdeka, Bulog dimintakan pula untuk menjaga cadangan pangan nasional.
Untuk menjalankan fungsi strategis seperti ini, sangatlah keliru kalau Bulog dijadikan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai BUMN, pasti Bulog dituntut untuk untung aebesar-sebesarnya. Padahal, kalau kita kaitkan dengan fungsi utama Bulog sendiri, maka yang terekam Bulog mestinya lebih banyak menjalankan peran pelayanan dan melaksanakan penugasan yang diberikan Pemerintah.
Akibatnya, menjadi sangat masuk akal, selama 21 tahun Bulog menjadi BUMN, kinerja Perum Bulog belum pernah memberi hasil maksimal, khususnya dalam menjalankan fungsi bisnisnya. Kehendak untuk menampilkan diri sebagai raksasa bisnis pangan ditingkat dunia pun lebih mengemuka sebagai wacana atau sekedar omon-omon belaka.
Begitulah Bulog. Sebuah lembaga parastatal yang penuh dengan dinamika kehidupan. Bulog terkadang penuh dengan tekanan politik. Bahkan petinggi Bulog pun layak bisa diaebut sedang menduduki “kursi panas”. Tentu kita ingat kasus yang menimpa Dirut Perum Bulog yang terpaksa menghuni hotel prodeo, karena tersangkut dengan penyimpangan penggemukan sapi.
Jabatan petinggi Bulog yang terkesan menduduki “kursi panas”, sebetulnya meminta kepada Dewan Pengawas dan Dewan Direksi Perum Bulog, untuk benar-benar menjalankan amanah yang diembannya dengan penuh kehormatan dan tanggungjawab. Sebagai Perusahaan Plat Merah, Perum Bulog punya kewajiban untuk mengelolanya secara profesional.
Adanya kemauan politik Presiden Prabowo untuk membebaskan Bulog dari statusnya sebagai BUMN dan berkeinginan untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden, sebetulnya menarik untuk didiskusikan. Catatan pentingnya, mengapa kita harus menanti selama 21 tahun untuk mengembalikan Bulog kepada khitohnya ?
Pertanyaan lanjutannya, mengapa Presiden-Presiden sebelum Pak Prabowo, seperti yang tidak hirau menyaksikan Perum Bulog yang tidak maksimal memerankan diri sebagai BUMN ? Namun, disinilah bedanya Pak Prabowo dengan yang lain. Presiden yang pernah memimpin organisasi petani sekelas HKTI selama dua periode dan kini masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina HKTI, terekam lebih berani untuk melakukan perubahan dan pembenahan terhadap Bulog.
Berubahnya Bulog dari LPND menjadi BUMN, jelas bukan kemauan bangsa kita. Kalau tidak ditekan IMF, mana mungkin para petinggi bangsa kita, akan mau merubah Bulog. Saat itu, IMF betul-betul sangat berkarisma. Apa yang diinginkan IMF, seolah-olah “sabda pandito ratu”. IMF dianggap sebagai “dewa penolong”, yang akan menyelamatkan perekonomian bangsa dari krisis multi-dimensi yang dialami bangsa tahun 1997/1998.
Menurut purwadaksinya, Bulog dilahirkan untuk menjadi sahabat sejati petani. Para penentu kebijakan saat itu, berkehendak ada kelembagaan Pemerintah yang mampu menjadi penjenjang antara kebutuhan petani dengan kebijakan Pemerintah. Bulog diharapkan tampil sebagai “warung beras” yang mampu menjawab kebutuhan petani.
Hal ini bisa dipahami, karena pangan atau beras merupakan kebutuhan pangan pokok yang harus tersedia sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau masyarakat. Pemerintah berharap agar Bulog dapat menjaga ketersediaan beras dalam negeri guna memberi makan segenap anak bangsa. Akibatnya wajar, jika ada tagline di masyarakat : “ingat beras ya ingat Bulog”.
Kalau betul, salah satu alasan Presiden Prabowo ingin mengembalikan Perum Bulog ke masa lalu saat menjadi LPND adalah untuk mempertegas persahabatan Bulog dengan petani, maka bisa dikatakan Bulog memang harus dekat dengan petani. Bulog dan petani, penting untuk membangun “brotherhood spirit” yang semakin jelas dan tegas. Bulog pasti akan selalu Pro Petani. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).