Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Hanya ada satu kata: lawan!
Kalimat dalam puisi “Peringatan” (1986) karya Widji Thukul (1963-1998) ini sepertinya menginspirasi Purbaya Yudhi Sadewa, sehingga Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani ini berani melawan Luhut Binsar Pandjaitan, menteri segala menteri di era Joko Widodo, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di era Prabowo Subianto.
Perlawanan Purbaya terhadap Luhut itu sudah ia tunjukkan dalam dua hal. Pertama, saat alokasi anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 2026 sebesar Rp335 triliun menimbulkan tanda tanya mengenai kemampuan belanja Badan Gizi Nasional (BGN). Pasalnya, pagu sebesar Rp71 triliun di tahun ini baru terealisasi Rp19,3 triliun per 26 September 2025. Akibatnya, Purbaya hendak menarik kembali anggaran MBG yang tak terserap itu pada akhir Oktober nanti.
Rencana Purbaya ini ditentang Luhut. Menurut Opung, serapan anggaran MBG saat ini sudah mulai membaik, sehingga tak perlu ditarik kembali. Namun, Purbaya bergeming. Bekas Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini ‘keukeuh” mau menarik anggaran MBG jika sampai akhir Oktober nanti tak terserap.
Kedua, saat Luhut berencana membangun kantor Family Office menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Purbaya menyatakan ketidaksetujuannya, dan mempersilakan Luhut membangunnya sendiri. Purbaya mengaku tidak akan mengalihkan APBN untuk membangun Family Office yang sudah digagas sejak era Jokowi.
Family Office atau Wealth Management Consulting (MWC) adalah skema layanan keuangan yang ditujukan untuk mengelola kekayaan ultra-net-worth individuals (UHNWI) atau investor kelas kakap global agar mereka menanamkan modalnya di Indonesia.
Purbaya mengaku belum begitu paham akan konsep Family Office itu meskipun Luhut sering membicarakannya. Sebab itulah ia tak mau mengalokasikan dana APBN untuk pembangunan kantor Family Office itu karena takut tidak tepat sasaran.
Baca : https://fusilatnews.com/purbaya-vs-luhut-pertarungan-dua-dunia/
Mungkin hanya Purbaya seorang diri, menteri yang berani melawan Luhut. Selebihnya adalah “ayam sayur” yang bisanya ABS (asal bapak senang). Apalagi berhadapan dengan Luhut yang di era Jokowi bahkan disebut sebagai “the real president”.
Purbaya versus Luhut, mengapa alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu berani melawan bekas Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi tersebut?
Pertama, mungkin Purbaya merasa benar. Apa yang dia lakukan sudah “on the right track” (di jalur yang benar).
Kedua, mungkin Purbaya tidak punya “vested interest” (kepentingan pribadi). Apa yang dia lakukan semata-mata untuk kepentingan negara. Ia pun tanpa beban. Berani melawan Luhut secara terbuka di ruang publik.
Ketiga, Purbaya bukan kader partai politik, sehingga tidak akan mendapat tekanan atau teguran dari parpolnya ketika suaranya berbeda dengan Luhut atau siapa pun, asalkan bukan dengan Prabowo yang merupakan “big boss”-nya.
Sementara Luhut sebaliknya. Ia ditengarai punya kepentingan pribadi mengingat statusnya sebagai seorang pengusaha. Penguasa merangkap pengusaha. Wasit merangkap pemain. Ada “conflict of interest” (konflik kepentingan) di sana.
Jadi, ketika Purbaya berani melawan Luhut, hal itu wajar saja. Bahkan sudah seharusnya demikian. Itulah!

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)




















