Penyusunan kabinet sejatinya adalah hak prerogatif Presiden. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, Wakil Presiden seharusnya hanya mendukung dan memahami apa yang Presiden inginkan untuk kabinetnya. Namun, rencana Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam menyusun kabinet tampak menyimpang dari prinsip ini.
Penyusunan kabinet haruslah didasarkan pada kompetensi dan kapabilitas pribadi-pribadi yang dipilih sebagai menteri. Menteri adalah pembantu Presiden dalam melaksanakan sebagian tugasnya dan memenuhi janji-janji yang disampaikan kepada rakyat saat kampanye. Menunjuk menteri berdasarkan utang budi politik atau pembagian jatah antara koalisi partai tidak hanya merusak integritas pemerintahan tetapi juga mengabaikan kebutuhan rakyat akan pemerintahan yang kompeten dan transparan.
Dalam berita terbaru dari Fusilatnews, https://fusilatnews.com/tkn-prabowo-gibran-bakal-peroleh-bagian-kursi-menteri-sisahnya-peroleh-kursi-komisaris-bumn/ disebutkan bahwa pembagian kursi menteri dan kursi komisaris BUMN menjadi rejeki nomplok bagi sejumlah anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran yang membutuhkan pekerjaan bergengsi pasca Pemilihan Presiden 2024. Anggota partai koalisi Indonesia Maju, yang hampir pasti akan memperoleh kursi menteri, sementara sisanya akan mendapatkan kursi komisaris di BUMN, menunjukkan bahwa penyusunan kabinet ini lebih berfokus pada balas jasa politik daripada kompetensi.
Misalnya, Simon Aloysius Mantiri dari Partai Gerindra ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina menggantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Selain itu, Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Fuad Bawazier dari Partai Gerindra juga ditunjuk sebagai Komisaris di Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Penunjukan semacam ini menimbulkan kekhawatiran mengenai moralitas dan integritas dalam pemerintahan. Bagaimana bisa individu-individu yang jelas-jelas terkait erat dengan kampanye politik diangkat ke posisi strategis yang seharusnya diisi oleh profesional yang kompeten dan berpengalaman di bidangnya? Ini adalah bentuk nepotisme politik yang jelas-jelas merusak tatanan good governance yang diharapkan oleh masyarakat.
Mengabaikan kompetensi demi politik balas budi bukan hanya mencederai prinsip keadilan tetapi juga berpotensi merugikan negara. Mengingat posisi menteri dan komisaris BUMN adalah posisi strategis yang memerlukan keahlian khusus, ketidakmampuan individu-individu yang diangkat karena alasan politik dapat berakibat fatal bagi kelangsungan dan kinerja lembaga yang dipimpinnya.
Maka, demi prinsip good governance dan kepentingan rakyat, penyusunan kabinet harus berlandaskan pada asas meritokrasi, bukan politik balas budi. Demi masa depan Indonesia yang lebih baik, pemerintahan harus dijalankan oleh individu-individu yang benar-benar kompeten dan memiliki integritas tinggi, bukan oleh mereka yang hanya mencari keuntungan pribadi dari posisi strategis.