Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik, Mujahid 212
Dalam hukum perbankan, dikenal asas prudential principle atau asas kehati-hatian, yang mewajibkan bank untuk melakukan evaluasi ketat terhadap calon nasabah (debitur) sebelum memberikan pinjaman kredit. Prinsip ini sangat relevan jika dihubungkan dengan proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek PIK 2, yang berada di kawasan Pantai Indah Kosambi, menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pendanaan. Baik bank asing, bank lokal milik pemerintah, maupun bank swasta akan berpikir dua kali sebelum mengucurkan kredit. Logika bisnis dan pertimbangan risiko menjadi alasan utama. Ada beberapa faktor yang membuat proyek ini menjadi sangat berisiko:
- Ketidakpastian Legalitas Izin Lokasi
Jika izin lokasi proyek PIK 2 dalam kerangka PSN tidak terbit, maka dokumen seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) juga tidak akan ada. Hal ini memicu keraguan terhadap kelengkapan regulasi dan kejelasan luas area proyek, yang menurut informasi hanya mencakup sekitar 17.550 hektare. Namun, ada indikasi luas lahan tersebut bisa membengkak hingga 60 ribu bahkan 100 ribu hektare, yang mendekati luas negara Singapura. Ketidakpastian ini diperburuk oleh potensi pelanggaran administrasi. - Maladministrasi dan Masalah Kompensasi Lahan
Ketidakberesan administrasi dan nominal pembayaran ganti rugi tanah yang tidak adil menjadi isu besar. Banyak laporan bahwa proses pelepasan hak dilakukan dengan pemaksaan, tidak atas dasar suka sama suka, sehingga melanggar syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUH Perdata. Situasi ini telah memicu berbagai aksi protes masyarakat Banten, yang merasa dirugikan oleh proyek ini. - Penolakan dari Warga Lokal
Masyarakat Banten memiliki sejarah sosiologis sebagai komunitas yang heroik dan pemberani. Penolakan terhadap PIK 2 telah berkembang menjadi gerakan moral, meskipun tidak terorganisir secara formal. Jika terus berlangsung, aksi-aksi ini dapat menciptakan ketegangan sosial, bahkan berpotensi memengaruhi kawasan pemukiman PIK 1 yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan proyek PIK 2. - Kajian Ulang oleh Pemerintah
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji ulang rekomendasi terkait Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk PIK 2. Kajian ini mencakup dampak lingkungan, termasuk potensi kerusakan pada kawasan hutan lindung seluas 1.500 hektare. Selain itu, proyek ini juga harus sejalan dengan program Presiden ke-8 RI yang fokus pada swasembada pangan, energi, dan pengendalian banjir melalui pembangunan Giant Sea Wall. - Masalah Kredibilitas dan Risiko Hukum
Proyek PIK 2 menghadapi berbagai tuduhan serius, termasuk manipulasi data dan intimidasi dalam proses ganti rugi lahan. Hal ini memperburuk citra proyek di mata lembaga keuangan. Jika tanah yang menjadi objek proyek terlibat dalam sengketa hukum, maka aset tersebut tidak layak dijadikan jaminan kredit.
Kesimpulan
Melihat berbagai tantangan ini, hampir dapat dipastikan bahwa pendanaan untuk proyek PIK 2 akan ditolak oleh bank asing, termasuk dari Singapura dan Tiongkok, serta bank lokal di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta. Risiko yang terlalu tinggi, baik secara hukum, sosial, maupun ekonomi, menjadi alasan utama. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) mengharuskan bank untuk menghindari pembiayaan proyek yang berpotensi menimbulkan kerugian besar.