Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Maka hanya ada satu kata: lawan!
Kutipan sebaris puisi karya Widji Thukul (1963-1998) berjudul “Peringatan” (1986) ini sepertinya menginspirasi para penyanyi top Indonesia, sehingga mereka terus melakukan perlawanan terhadap para komponis, komposer atau pencipta lagu. Pokok persoalannya adalah royalti hak cipta.
Bagi pencipta lagu, royalti adalah madu yang akan membuat hidup mereka terasa manis. Maklum, hingga kini masih banyak komponis yang hidupnya dalam kondisi memprihatinkan karena tidak mendapatkan royalti semestinya atas karya lagu yang telah mereka ciptakan.
Hal itu tak sebanding dengan nasib penyanyi yang hidupnya manis bahkan glamour karena lagu yang mereka bawakan hits atau meledak di pasaran. Sementara pencipta lagunya yang ada di balik layar tetap menderita.
Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku
Lagu “Madu & Racun” yang dipopulerkan mendiang penyanyi Arie Wibowo ini pun seperti terngiang kembali.
Kini, ketika mulai muncul kesadaran akan kewajiban membayar royalti atas hak cipta, hal itu menjadi semacam racun yang pahit bagi penyanyi. Padahal, racun bagi penyanyi akan menjadi madu bagi pencipta lagu.
Agnes Mo, misalnya. Ia meradang ketika diwajibkan membayar royalti sebesar Rp1,5 miliar kepada Ari Bias, pencipta lagu “Bilang Saja” yang ia bawakan dalam tiga kali konser di Indonesia.
Memang, seharusnya ada hubungan simbiosis mutualisme antara penyanyi dan pencipta lagu. Sama-sama diuntungkan. Bukan simbiosis komensalisme di mana yang satu untung, sementara yang lain tidak dirugikan. Bukan pula simbiosis parasitisme di mana yang satu untung, tetapi yang lain dirugikan.
Sesungguhnya antara penyanyi dan pencipta lagu bisa saling mengisi dan melengkapi. Penyanyi debutan bisa langsung populer karena membawakan lagu yang bagus ciptaan komponis ternama. Contohnya mendiang Deddy Dores yang banyak melahirkan penyanyi-penyanyi top. Pun, Melly Goeslaw.
Sebaliknya, pencipta lagu debutan pun bisa langsung terkenal karena lagunya bagus dan dibawakan oleh penyanyi ternama.
Pokok Persoalan
Perlawanan bermula dari divonisnya Agnes Mo oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 30 Januari lalu yang mengharuskan penyanyi yang sudah “go international” ini membayar royalti sejumlah Rp1,5 miliar atas lagu “Bilang Saja” ciptaan komposer Ari Bias yang telah dinyanyikan Agnes Mo dalam tiga kali konsernya di Indonesia. Artinya, dalam satu kali konser Agnes Mo harus membayar royalti Rp500 juta.
Atas putusan PN Jakpus ini, Agnes Mo mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan sedang berproses. Ini perlawanan secara hukum.
Perlawanan secara hukum lainnya, seperti diberitakan, sebanyak 29 penyanyi Indonesia mengajukan gugatan “judicial review” atau uji materi Undang-Undang (UU) No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut situs resmi MK, permohonan uji materi itu terdaftar dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (APPP) bernomor: 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Uji materi ini terdaftar pada 7 Maret 2025 pukul 19.10 WIB.
Adapun pokok perkaranya adalah Permohonan Pengujian Materiil UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sebagian besar penyanyi yang masuk daftar pemohon adalah solois dan vokalis band, mulai dari Armand Maulana, Ariel NOAH, hingga Nino.
Ada pula para solois seperti Judika, Bunga Citra Lestari, Rossa, Raisa, Nadin Amizah, Bernadya, Vidi Aldiano, hingga Afgan yang turut menjadi pemohon.
Pun, Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Titi DJ, Ikang Fawzi, dan Dewi Gita.
Perlawanan juga dilakukan secara politik. Para penyanyi itu memberikan masukan kepada Menteri Hukum Supratman Andi Agtas terkait revisi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang kini sedang digodok DPR RI.
Perlawanan secara politik lainnya adalah para penyanyi itu membentuk organisasi Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dikomandani penyanyi senior Armand Maulana.
VISI ini dikonotasikan sebagai tandingan dari Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) yang dikomandani Piyu Padi. Di kubu AKSI juga ada Ahmad Dhani yang akhir-akhir ini terlihat polemik terbuka dengan Agnes Mo soal royalti itu.
Pokok persoalannya, sekali lagi, adalah royalti atas hak cipta. Mereka yang tergabung dalam VISI menghendaki royalti dibayar oleh promotor atau event organizer (EO) konser musik.
Sebaliknya, para komposer yang tergabung dalam AKSI menghendaki agar royalti dibayarkan otomatis oleh penyanyi yang membawakan lagu milik komposernya. Agnes Mo, misalnya, diminta taat hukum dengan membayar royalti Rp1,5 miliar kepada Ari Bias sesuai putusan PN Jakpus.
Alhasil, secara politik VISI dan AKSI sedang bertarung di parlemen yang sedang merevisi UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Masukan dari kedua belah pihak sudah disampaikan oleh perwakilan masing-masing ke pemerintah. Mungkin j/akan ke parlemen pula.
Terlepas dari siapa yang nanti akan diakomodasi secara politik oleh DPR, dan siapa yang akan dimenangkan secara hukum oleh MA, dan juga MK, semua pihak harus taat hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Jika nanti dalam kasasinya MA memutuskan Agnes Mo harus membayar royalti Rp1,5 miliar ke Ari Bias, maka penyanyi yang sudah kaya-raya tersebut harus patuh dan membayar.
Apalah arti uang Rp1,5 miliar bagi Agnes Mo dibandingkan dengan reputasinya. Sebaliknya, uang sejumlah itu akan sangat berarti bagi Ari Bias sebagai pencipta lagu.
Bagi Ari Bias, pembayaran royalti itu akan menjadi semacam madu. Begitu pun bagi Agnes. Royalti sebesar itu tak akan menjadi racun bagi reputasi Agnes, bahkan akan menjadi madu yang kian mengharumkan namanya.
Kemudian apakah putusan MK nanti, dan juga hasil revisi UU Hak Cipta nanti akan menentukan apakah penyanyi atau promotor yang harus membayar royalti, semua pihak juga harus mematuhinya.
Bagi pencipta lagu, tak terlalu penting apakah promotor atau penyanyi yang membayar royalti. Bagi pencipta lagu, yang paling penting adalah royalti itu dibayarkan. Titik!