Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Sejak dilaporkan 18 Februari lalu, kasus dugaan suap pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2024-2029 hingga kini tak ada perkembangan signifikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) alias mangkrak.
Diprediksi, kasus ini akan menguap begitu saja, sebagaimana kasus korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia yang diduga melibatkan semua anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024.
Siapa pula yang berani melawan DPR dan DPD? Apalagi KPK yang kini sudah menjelma bak ayam sayur.
Wakil Ketua DPD RI Yorrys Raweyai pun buka suara. Ada tiga poin dari pernyataan senator asal Papua Barat itu yang disampaikan kepada media, Senin (10/3/2025).
Pertama, dengan nada meradang Yorrys menantang sang pelapor untuk membuktikan laporannya terkait 95 dari 152 anggota DPD yang diduga menerima suap.
Kedua, jika sang pelapor tidak bisa membuktikan laporannya, maka akan ada konsekuensinya. Entah konsekuensi semacam apa.
Ketiga, laporan itu sekadar upaya untuk mengadu domba DPD sehingga menjadi tidak solid.
Baiklah. Mari kita “telanjangi” satu per satu pernyataan bekas anggota DPR RI dari Partai Golkar itu.
Pertama, ihwal pelapor harus membuktikan laporannya.
Agaknya Yorrys alpa bahwa tugas masyarakat hanya melaporkan kasus korupsi. Untuk membuktikan laporan itu benar atau tidak, hal tersebut menjadi tugas aparat penegak hukum. Dalam hal ini KPK. Bukan pelapor.
Bagaimana bisa warga masyarakat yang tidak punya otoritas dan juga kapasitas dalam hal penyelidikan dan penyidikan membuktikan benar atau tidaknya sebuah kasus korupsi?
KPK punya segalanya: otoritas, kapasitas, anggaran, intelijen, teknologi dan sebagainya. Tak seharusnya pembuktian sebuah kasus korupsi dibebankan kepada pelapor.
Ya, jangan justru upaya pembuktian kasus korupsi dibebankan kepada pelapor. Nanti tidak akan ada orang yang mau melaporkan kasus korupsi.
Pelaporan kasus korupsi itu sendiri merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Kedua, ada konsekuensi bagi pelapor jika tak bisa membuktikan laporannya. Entah konsekuensi semacam apa. Mungkin konsekuensi hukum. Yakni, pelapor dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan fitnah, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, atau penyebaran hoaks (berita bohong).
Pertanyaannya, kalau setiap pelapor kasus korupsi dilaporkan ke polisi, betapa banyak orang yang akan takut membongkar kasus korupsi?
Akibatnya, kasus korupsi yang sudah tumbuh subur di Indonesia akan bertambah subur lagi. Pernyataan Yorrys itu juga bisa diinterpretasikan sebagai ancaman, intimidasi, bahkan teror.
Bukanlah para Kapolda di seluruh Indonesia sudah diinstruksikan untuk memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi, jika dalam waktu bersamaan ada tuduhan pencemaran nama baik terhadap pelapor.
Ketiga, soal mengadu domba atau memecah belah soliditas DPD.
Kalau memang tidak ada kasus suap di dalamnya, mengapa DPD harus tidak solid? Kalau memang bersih, mestinya DPD tak perlu takut. Bahkan menjadikan laporan itu sebagai momentum untuk bersih-bersih. Justru pelapor mestinya dijadikan “common enemy” (musuh bersama) yang akan membuat DPD kian solid.
Sikap Yorrys yang meradang dan menantang itu justru secara psikologis merupakan manifestasi dari rasa takut sehingga defensif. Benarkah? Sekali lagi, kalau memang bersih, mengapa harus takut?
Mengapa pula harus meradang? Pun, mengapa harus menantang?
Sebelumnya diberitakan, seorang mantan staf anggota DPD RI, Muhammad Fithrat Irfan melaporkan kasus dugaan suap terkait pemilihan Ketua DPD RI periode 2024-2029 ke KPK. Irfan mengaku melaporkan mantan atasannya, dalam hal ini senator asal Sulawesi Tengah berinisial RAA, yang diduga menerima suap dalam proses pemilihan Ketua DPD yang menghasilkan Sultan Najamudin.
Menurut Irfan, seorang anggota DPD diduga mendapat 13.000 dollar Amerika Serikat (AS), di mana uang 5.000 dollar AS untuk memberikan suara pada pemilihan Ketua DPD, sementara 8.000 dollar AS lainnya untuk pemilihan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD. Uang itu dibagikan “door to door” atau dari pintu ke pintu.
Kini, bola ada di tangan KPK. Semua tergantung KPK, apakah mau tetap menjadi ayam sayur atau tidak.