Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Salsa Erwina tiba-tiba muncul di panggung publik dengan hantaman keras kepada oknum anggota DPR RI. Kritiknya bisa dibenarkan jika dikaitkan dengan mentalitas amoral para wakil rakyat yang memang mengalami kerusakan mental. Penyakit itu jelas bersemayam lintas partai, akibat dari sistem demokrasi cacat yang hanya mengandalkan voting suara terbanyak, bukan kualitas.
Para delegator rakyat yang sakit ini—dengan gaya hidup hedonis—terlihat jelas di tubuh partai-partai besar. Dari partai berlogo kepala banteng merah, partai bersimbol putih suci dengan padi, hingga partai senior berlogo Ka’bah yang warnanya bisa berubah-ubah bak pelangi, mencerminkan wajah politik yang munafik. Semua sudah tercatat di ingatan rakyat: partai-partai yang setiap lima tahun sekali menipu konstituennya.
Namun, yang menarik, adakah Salsa berani menyentuh nama Jokowi? Sebab justru Jokowi-lah yang dianggap biang kerusakan mental pejabat publik dan simbol degradasi moral kepemimpinan bangsa lintas sektor. Faktanya, Jokowi kini malah tampil sebagai pelapor di Polda Metro Jaya, merasa terhina karena dituding publik menggunakan ijazah palsu. Pertanyaan krusialnya: apakah pengguna ijazah palsu masih pantas menjadi penyelenggara negara? Atau hal ini sudah dianggap lumrah di republik yang kerap menjungkirbalikkan logika?
Dalam pancaroba politik saat ini, skenario klasik terus dimainkan: bagaimana kekuasaan dipertahankan, bagaimana diri, keluarga, dan harta diselamatkan dari amuk massa, dan bagaimana posisi ekonomi bisa dinegosiasikan saat kekuasaan berpindah dari penguasa lama ke penguasa baru. Pemilu presiden maupun legislatif hanya menjadi rutinitas lima tahunan: pesta mahal yang disuguhkan untuk rakyat, namun sejatinya hanya ritual ular berganti kulit—drama dengan topeng “kejujuran”.
Sementara itu, rakyat kecil—ASN, pensiunan, wiraswasta jujur—tetap hidup pas-pasan. Yang miskin akan tetap miskin, sementara para bajingan justru kian banyak jumlahnya. Mereka bereuni di panggung politik, berbagi panggung dan kekuasaan dengan dalih gotong royong, asalkan kepentingan bersama tetap aman.
Pada akhirnya, Salsa Erwina mungkin hanya akan berumur pendek di panggung politik. Ia akan menjadi fenomena semusim, muncul sebentar untuk “menelan korban” sesuai pesanan. Sementara itu, driver ojol yang lugu tetap mengayuh roda kehidupan: mengantar paket di bawah terik matahari atau hujan, kadang kena denda karena paket hilang, sementara para elit politik tetap bersembunyi di balik kemewahan.
Musim akan berganti, dan berita akan kembali dipenuhi dengan munculnya “salsa-salsa” lain. Pertanyaannya, apakah ada yang benar-benar berani menyentuh inti masalah bangsa ini: Jokowi sebagai sumber kerusakan moralitas politik?

Damai Hari Lubis




















