OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Memberikan lahan sebesar 12,7 juta hektar dalam kaitan nya dengan Program Perhutanan Sosial kepada masyarakat, khusus nya para petani desa hutan, bukanlah persoalan yang gampang. Bukti nya, sejak Program Perhutanan Sosial digelindingkan, ternyata hingga kini baru mampu diberikan kepada masyarakat sekitar 4,5 juta hektar.
Yang jadi pertanyaan menarik adalah bagaimana menggenjot yang belum diberikan kepada masyarakat, dimana jumlah nya masih tercatat sekitar 8,2 juta hektar. Lalu, bagaimana pula “mengelola” lahan yang sudah diberikan kepada masyarakat itu sendiri ? Benarkah yang 4,5 juta hektar itu telah benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat ?
Ataukah belum, dimana banyak dari mereka yang diberi lahan sebesar 2 hektar per Kepala Keluarga ini, hanya termenung tanpa berkiprah apa pun. Sebab nya sederhana, karena umum nya mereka tidak memiliki kapasitas dan kompetensi untuk mengelola lahan yang diterima nya. Apakah itu yang berkaitan dengan modal kerja atau pun kemampuan untuk mengolah lahan yang diterima nya tersebut ?
Dihadapkan pada beberapa pertanyaan yang dikemukakan ini, sangatlah memalukan, kalau kita membiarkan hal yang demikian tanpa solusi. Sangat mengenaskan pula bila kita hanya berdiam diri, sambil menyaksikan para petani penerima lahan terbengong-bengong setiap hari. Suasana seperti ini, memang harus sesegera mungkin dirubah-arahkan.
Mereka yang sejak awal memiliki “kepentingan” dalam Program Perhutanan Sosial, sangatlah dimintakan melahirkan langkah-langkah nyata dan cerdas guna mengatasi nya. Lahan yang sudah diberikan negara kepada masyarakat, jangan sampai menjadi tidak produktif. Arti nya, perlu pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan terhadap lahan yang 2 hektar per Kepala Keluarga itu.
Kalau selama ini terekam Program Perhutanan Sosial seperti yang tidak memiliki Grand Desain untuk 25 tahun ke depan, maka menjadi tugas kita bersama untuk menyusun nya. Prinsip, lebih baik terlambat dari pada tidak, tentu akan lebih memiliki makna, ketimbang tidak sama sekali. Hal ini penting ditempuh, karena Grand Desain inilah yang akan menjadi arah dari program Perhutanan Sosial itu sendiri.
Program Perhutanan Sosial yang selama ini berjalan, terlihat lebih banyak disibukan oleh kegiatan memberikan lahan sebesar 2 hektar kepada masyarakat, dari pada memikirkan dan menggarap lahan tersebut. Inilah salah satu titik lemah dari kebijakan Perhutanan Sosial yang ditempuh sekarang ini.
Dari awal sudah diingatkan, program Perhutanan Sosial adalah kegiatan yang sifat nya multi-sektor. Bukan hanya program nya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuranan (KLHK) semata. Sebagai program multi-sektor, Perhutanan Sosial menuntut keterlibatan banyak pihak, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi nya.
Perhutanan Sosial, bukan hanya proyek Pemerintah, namun sedari awal perlu dibewarakan Perhutanan Sosial adalah kegiatan kolaborasi para pihak yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian cita-cita mulia program ini. Pola pendekatan yang dianjurkan, tentu harus bersifat gerakan. Bukan keproyekan.
Sebagai gerakan, Perhutanan Sosial, harus dibangun lewat sinergitas yang kuat dan terukur dari para pihak yang terlibat di dalam nya. Negara sendiri, jelas perlu memainkan peran sebagai “prime mover”. Negara atau Pemerintah, dituntut untuk berada di garda terdepan dalam mewujudkan Grand Desain program ini.
Grand Desain penting disusun secara matang dan berkualitas. Semangat nya bukan mengejar target semata, namun juga mampu memberi nilai kemanfaatan bagi mereka yang ikut serta di dalam nya. Sesuai dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS), memiliki tugas untuk meyusun perencanaan pembangunan yang lebih utuh, holistik dan komprehensif.
Mengingat Perhutanan Sosial merupakan program multi-sektor dan melibatkan banyak pihak, dalam penyusunan Grand Desain dengan pendekatan teknokratik, partisipatif, atas-bawah dan politis, sebaik nya Bapenas yang tampil sebagai pembawa pedang samurai dalam aspek perencanaan nya. Hal ini penting dipahami, karena Bapenas sendiri tentu memiliki banyak pengalaman dalam merumuskan berbagai Grand Desain.
Selain dibutuhkan ada nya desain perencanaan yang lebih berkualitas, Perhutanan Sosial juga membutuhkan jaminan keberlanjutan kegiatan nya. Jangan sampai kepemimpinan Presiden Jokowi selesai tahun 2024, maka program Perhutanan Sosial pun ikut selesai. Ini yang tidak boleh terjadi. Sebab, Program Perhutanan Sosial tidak identik dengan Presiden Jokowi. Jadi, siapa pun Presiden nya, Program Perhutanan Sosial harus tetap berlangsung.
Untuk mewujudkan hal yang demikian, semangat Perhutanan Sosial sudah sepatut nya teruang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 25 tahun ke depan. Tinggal sekarang, bagaimana membahasakan nya dalam rumusan perencanaan agar kesinabungan program ini tetap berlangsung.
Akhir nya penting diutarakan, bila Program Perhutanan Sosial saat ini tampak kurang sesuai dengan apa yang dicita-citakan semula, tentu kita harus mencari jawaban, mengapa hal itu dapat terjadi. Sebagai program yang memiliki tujuan untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan berusaha dan sumberdaya manusia, Perhutanan Sosial bukanlah program yang dikemas adal-asalan.
Untuk meraih cita-cita nya itu, wajar jika program ini memiliki prinsip-prinsip dasar, di antaranya adalah keadilan, keberlanjutan, kapasitas hukum, partisipatif, dan bertanggung gugat. Dengan bahasa lain dapat juga disampaikan, bila sekarang ini, mulai terdengar ada nya suara-suara sumbang terkait Perhutanan Sosial, maka kewajiban kita bersama untuk menyelamatkan nya. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).