Jakarta-FusilatNewsTadi pagi saya menyambangi Pasar PSPT, pasar tradisional di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Niatnya sederhana, membeli sedikit daging sapi, ayam, dan udang untuk acara bakar-bakaran bersama anak-anak di malam Tahun Baru. Namun, pengalaman itu membuka mata saya pada realitas yang lebih besar: kondisi ekonomi masyarakat.
Sudah hampir setahun saya tak mengunjungi pasar ini, lebih sering ke pasar tradisional di dekat rumah yang lebih murah meskipun sering kali becek. Ketika tiba di pasar Tebet, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, parkiran pasar yang biasanya ramai tampak lengang. Saya menjadi mobil ketiga yang terparkir di sana. Suasana yang tidak biasa untuk waktu pagi di pasar tradisional.
Ketika turun ke basement, tempat para pedagang menjajakan daging, ikan, sayuran, dan bumbu-bumbuan, suasana sepi semakin terasa. Tempat itu nyaris kosong, hanya beberapa pedagang yang duduk termenung di los mereka. Kehadiran saya sebagai pembeli terasa menonjol di tengah sunyi pasar. Dalam kurun waktu 15 menit saya berada di sana, saya menjadi satu-satunya pembeli di los daging, ayam, dan ikan laut.
Lebih mencengangkan, jumlah pedagang pun berkurang drastis dibandingkan tahun lalu. Penjual daging sapi yang dulu mengisi empat los kini tinggal satu. Penjual ikan laut dari tiga los menyusut menjadi satu. Penjual ayam yang sebelumnya lima kini tersisa tiga. Bahkan, pedagang yang bertahan tampak kebingungan menunggu pembeli yang tak kunjung datang.
Padahal, harga-harga relatif stabil. Daging sapi, ayam, dan ikan laut tidak menunjukkan kenaikan harga yang signifikan meskipun ini periode Natal dan Tahun Baru. Lalu, apa yang terjadi? Pulang dari pasar, sambil menyusuri Jalan Soepomo yang juga lengang, saya terjebak dalam renungan. Apakah ini sekadar masalah harga? Atau justru cerminan daya beli masyarakat yang terus merosot?
Sepinya pasar tradisional ini bisa menjadi indikator bahwa ekonomi masyarakat di kota besar sedang tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat yang melemah menunjukkan bahwa uang bukan hanya sulit dicari, tetapi juga semakin hati-hati dibelanjakan. Orang mungkin masih memiliki kebutuhan, tetapi mereka mulai menahan diri, mencari alternatif yang lebih murah, atau bahkan mengurangi konsumsi.
Fenomena ini bukan hanya soal pasar tradisional. Ini adalah potret kecil dari situasi perekonomian di kota-kota besar lainnya. Di balik kilauan gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang penuh kendaraan, ada lapisan masyarakat yang harus bergelut dengan realitas pahit: penghasilan yang stagnan, harga kebutuhan hidup yang terus meningkat, dan ketidakpastian ekonomi.
Sepinya Pasar Tebet adalah sebuah cerita kecil, tetapi ia memotret gambaran besar. Ini adalah peringatan bahwa ada sesuatu yang salah dalam roda perekonomian kita. Bukan hanya angka-angka makroekonomi yang perlu diperhatikan, tetapi juga bagaimana keseharian masyarakat berjalan. Saat pasar-pasar tradisional yang menjadi denyut nadi ekonomi kecil mulai meredup, itu adalah tanda bahwa ada krisis yang lebih dalam yang harus segera diatasi.