Pagi ini, program Makan Bergizi Gratis resmi dimulai. Sebuah langkah besar, sebuah janji yang kini menjelma nyata. Dalam setiap suapan, tersimpan doa dan harapan, seolah pemerintah ingin berkata, āKami hadir untukmu.ā Namun, di balik euforia program ini, ada banyak pertanyaan yang melayang, mengisi ruang di balik spanduk besar yang terbentang: Apakah sepuluh ribu rupiah cukup untuk memberi makan sebuah bangsa?
Di atas piring logam sederhana, makanan tersaji dalam kesahajaan. Seporsi nasi putih, seiris telur yang enggan tampil megah, sepotong tempe yang menjadi saksi perjuangan, dan sayur hijau yang tersenyum malu. Dengan sepuluh ribu rupiah, inilah bentuk cinta pemerintah pada rakyatnyaāatau begitulah narasinya terdengar.
Namun, mari kita renungkan: apakah angka kecil ini cukup? Sepuluh ribu rupiah harus merangkum bahan baku, pengolahan, hingga pengiriman ke setiap sudut negeri. Dari dapur sederhana hingga wilayah terpencil yang hanya bisa dijangkau oleh roda tua. Bukankah logistik sendiri sering kali menjadi musuh terbesar bagi program ambisius?
Pertanyaan lain membayangi. Bagaimana program ini bisa diluncurkan secepat ini, di bulan pertama tahun yang baru? APBN 2025 mungkin sudah disahkan, tetapi bukankah cairnya dana butuh waktu? Jika program ini sudah berjalan, dari mana dana itu bersumber? Adakah pengelolaannya melalui tender? Jika iya, kapan proses itu dilakukan, dan siapa pemenangnya?
Di balik layar megah program ini, transparansi menjadi kata kunci. Masyarakat berhak tahu bagaimana uang mereka digunakan. Apakah ada efisiensi tanpa mengorbankan kualitas? Apakah sepuluh ribu rupiah benar-benar cukup untuk memberi makan yang bergizi?
Di atas meja makan, rakyat menatap hidangan ini. Harapan dan skeptisisme beradu di setiap tatapan. Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah pertama yang berani, tetapi keberhasilannya tidak hanya soal memberikan makanan, melainkan juga memastikan keadilan dan kejujuran di setiap porsinya. Karena dalam sepiring kecil ini, tersimpan lebih dari sekadar gizi; ada martabat, ada rasa percaya, ada harga diri sebuah bangsa.